Rasa Ingin Tahu dan Ketidakjujuran Lelaki Gondrong di Kantor Koramil

Media Jatim
Rasa ingin tahu dan lelaki gondrong
Ongky Arista UA

Dalam benak saya, saya selalu berpikir bahwa seseorang akan dengan mudah berkata jujur dan mengakui kesalahannya.

Namun, ternyata, tidak! Sungguh tidak dan sangat sungguh tidak!

Pada Senin, 20 Januari 2025, sekitar pukul 20.00 WIB, saya melaju dari arah kantor Media Jatim di Jalan Raya Panglegur, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan menuju tempat saya biasa makan nasi goreng di depan Kantor Koramil 0826-01 Pamekasan.

Sampai di lokasi, saya memarkir roda empat saya di halaman Koramil–sebagaimana biasa saya lakukan. Sebelum keluar dari mobil, saya mengambil semua lembar uang yang tersisa di sorokan atau door pocket mobil.

Turun dari mobil, saya langsung menuju lapak nasgor Saiful. Sebelum turun saya melihat lelaki gondrong berkaos oblong bercelana panjang selonjoran di teras Kantor Koramil.

Duduk beberapa detik di lapak nasgor, saya mengecek uang di tangan. Kemudian tersadar bahwa ada selembar duit yang ternyata tidak ada di tangan. Yakni, satu-satunya lembaran Rp100 ribu.

Saya pun kembali ke mobil. Saat saya kembali, ada lelaki gondrong merunduk di dekat pintu mobil lalu berjalan ke utara halaman Koramil. Saya mulai berpikir bahwa uang saya jatuh dan dia yang memungutnya.

Namun, sebagai seorang jurnalis, saya sadar tidak boleh menduga-duga tanpa bukti. Praduga tak bersalah langsung muncul di kepala seperti kilatan petir.

Saya pun kembali ke dalam mobil dan mengeceknya di door pocket. Uang Rp100 ribu itu tidak ada di sana.

Saya kembali curiga pada gerak-gerik si gondrong yang memang mencurigakan itu. Sebab, sempat saya lihat dia membungkuk memungut sesuatu di samping pintu mobil saya.

Baca Juga:  Filosofi Doa

Dengan nada halus saya menghampiri si gondrong yang berdiri di pagar Koramil dan bertanya, “Mas lihat uang saya jatuh gak, ya?”

“Uang apa, gak lihat,” jawab si gondrong.

Sambil berucap terima kasih, saya kembali ke lapak nasgor. Satu sisi saya tidak boleh menduga tanpa bukti. Di sisi yang lain, sebagai seorang jurnalis saya menaruh rasa penasaran, rasa ingin tahu ke mana uang saya.

Sampai saya duduk menyantap nasi goreng, saya masih penasaran ke mana duit saya. Apakah jatuh? Apakah terselip di mobil? Dalam pikir, saya tidak boleh curiga serampangan dan di sisi lain saya skeptis pada uang saya.

Sepanjang saya menyantap makanan, saya berpikir dua hal. Mengikhlaskan uang Rp100 ribu satu-satunya itu atau mencari tahu sampai tuntas.

Namun, rasa penasaran dan rasa ingin tahu saya ternyata lebih kuat. Sebagai jurnalis, saya merasa harus mengecek apa yang terjadi sebenarnya.

Saya bertanya kepada penjual nasgor, apa di Kantor Koramil ada CCTV. Dia menjawab ada. Usai makan, saya langsung ke kantin Koramil.

Ada petugas jaga kantin. Kepada dia saya meminta pertolongan untuk mengecek CCTV yang tepat berada di atas halaman Koramil. Saya sungguh penasaran.

Penjaga kantin menelepon temannya yang bertugas untuk mengecek CCTV. Saya menunggu sebentar duduk di kursi.

Singkat kemudian, temannya si penjaga kantin menelepon. Dia berkata, uang saya jatuh saat saya turun dari mobil dan lelaki gondrong itu yang memungutnya.

“Ya, uang itu jatuh dan ada yang ngambil, yang gondrong,” kata penjaga kantin, menvalidasi penuturan temannya yang mengecek CCTV.

Usai mengecek, saya mendatangi si gondrong yang kebetulan belum pulang ada di warnet di kompleks Kantor Koramil.

Baca Juga:  Pemred Media Jatim Paparkan News Analysis di Sekolah Kader Kopri IV se-Jawa Timur

Saya pun berkata kepadanya, bahwa saya meminta uang saya yang dia pungut. Namun, dia berkilah.

“Uang apa, saya tidak tahu,” jawab dia dengan nada tidak terima.

“Ayo keluar, itu ada CCTV, saya sudah cek CCTV,” kata saya.

“CCTV apa? Di mana?” jawab dia.

Lalu, saya ajak dia keluar. Saya tunjuk posisi CCTV yang tepat mengarah ke mobil saya. Raut wajahnya seketika berubah. Nada bicaranya mulai turun dan tidak nge-gas lagi.

“Saya minta maaf,” kata dia sembari mengeluarkan duit Rp100 ribu dari tasnya.

Sebagai jurnalis, saya telah berupaya mengungkap faktanya. Saya berusaha menjawab rasa ingin tahu saya sendiri. Saya menyimpan praduga tak bersalah dengan cara bergerak mengecek CCTV dan melihat kebenarannya.

Bahwa, ini bukan semata-mata soal uang Rp100 ribu. Ini soal kejujuran seseorang dan watak saya sebagai jurnalis. Bahwa saya harus membuktikan sesuatu sampai kelihatan mana kebenarannya.

Sebagaimana kata Goenawan Mohamad, “Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awal dan dasarnya.”

Saya hanya menunaikan rasa ingin tahu saya. Rasa ingin tahu saya yang sungguh-sungguh.

Dari apa yang saya alami ini, saya belajar. Semula saya selalu berpikir bahwa seseorang akan dengan mudah berkata jujur dan mengakui kesalahannya.

Namun, ternyata, tidak! Sungguh tidak dan sangat sungguh tidak! Seseorang bisa dengan mudah berbohong dan jurnalis bertugas mengungkap kebohongan itu.(*)

_____
*penulis Ongky Arista UA, Pemimpin Redaksi Media Jatim dan Ketua Forum Wartawan Pamekasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *