web media jatim

Beranikah Polisi Menilang Bupati Sumenep?

Media Jatim
Moh Syamsul Arifin
Moh. Syamsul Arifin

Tak berlebihan rasanya jika warga Sumenep harus tiga kali menarik napas panjang.

Pertama; media mengungkap Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo ternyata tercatat bertanggung jawab terhadap empat mobil dinas. Salah satu di antaranya serharga Rp2 miliar.

Kedua; media mengungkap pelat nomor mobil dinas Bupati dan Wakil Bupati Sumenep tidak sesuai data kendaraan yang tercatat di instansi kepolisian.

Ketiga, media juga mengungkap mobil dinas Bupati dan Wakil Bupati Sumenep menunggak pajak selama dua tahun.

Yang paling menyita perhatian adalah sebuah mobil Mercy GLS yang belum membayar pajak sejak 2023. Mobil mewah itu ternyata adalah kendaraan dinas sang bupati.

Awalnya, saya mencoba memahami. Barangkali memang ada kekeliruan administratif. Barangkali hanya soal lupa.

Tapi, sulit membayangkan bagaimana sebuah pemerintahan kabupaten dengan anggaran besar, struktur birokrasi lengkap, dan sistem pengelolaan yang–katanya–tertata bisa lupa akan kewajiban pajak selama dua tahun berturut-turut.

Saya tidak tahu siapa yang mesti bertanggung jawab. Apakah sang bupati, bagian umum, sekretariat daerah, atau seluruh rantai birokrasi yang terlibat? Yang jelas, publik seperti kehilangan sosok pemimpin yang layak dijadikan contoh.

Sebagai warga biasa, saya takut jika telat bayar pajak kendaraan. Tentu, saya merasa harus berusaha memenuhi kewajiban pajak tepat waktu.

Baca Juga:  Ribuan Berkas Menumpuk Depan Toilet Disdikbud Pamekasan, Ini Penjelasan Kadis!

Bukan hanya karena takut akan sanksi hukum, melainkan karena saya tak sanggup menanggung denda. Nilainya mungkin tak seberapa, tetapi terasa berat saat harus dibayar berbarengan dengan kebutuhan pokok lainnya.

Karena itu, ada perih yang tak bisa ditahan ketika menyaksikan masyarakat kecil berusaha taat, sementara pejabat yang menikmati fasilitas negara justru abai seolah tanpa beban moral. Ketimpangan itu melukai rasa keadilan.

IMG-20250502-WA0029
IMG-20250502-WA0027
IMG-20250502-WA0028
IMG-20250502-WA0031
IMG-20250502-WA0030

Dari sanalah sebuah pertanyaan sederhana muncul: beranikah polisi menilang mobil dinas Bupati Sumenep?

Ini bukan gugatan kepada polisi. Hanya ada sebuah bayangan yang terlintas, begini:

Seorang polisi berdiri di tepi jalan, menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Sebuah mobil dinas melintas. Pelat merah. Lampu strobo menyala.

Polisi memberi aba-aba untuk menepi, lalu berkata, “Maaf, Pak. Data Samsat menunjukkan kendaraan ini menunggak pajak dua tahun. Kami harus tindak.”

Dari balik kaca, muncul wajah sang bupati. Dia tersenyum tipis. Senyum itu bisa berarti banyak hal, entah itu pengertian, ketidakpedulian, atau bahkan penegasan kekuasaan. Tak ada yang benar-benar tahu. Ini hanya bayangan saja, loh, ya.

Yang jadi pertanyaan, bagaimana kelanjutan cerita ini? Akankah sang bupati menuju Samsat untuk melunasi pajaknya? Atau justru sang polisi esoknya menerima surat mutasi ke daerah terpencil?

Baca Juga:  Media Jatim dan Jawara Post Baksos Peduli Pandemi Covid-19

Saya tak hendak menyalahkan polisi. Saya bisa memahami betapa dilematis posisi mereka. Menilang warga biasa, prosedurnya jelas. Tapi menindak penguasa? Itu bukan hanya soal aturan, melainkan soal nyali. Dan tidak semua nyali dibayar dengan gaji.

Tapi keberanian semacam itu seharusnya tidak menjadi langka. Karena setahu saya, hukum tidak mengenal hierarki. Ia tidak tunduk pada gelar, kekuasaan, atau kekayaan.

Barangkali sudah saatnya kita berpikir lebih jauh. Mungkin institusi penegak hukum perlu memulai inisiatif moral semacam program “Tilang untuk Semua.” Bukan sekadar penindakan, tapi simbol bahwa hukum berlaku adil, tanpa kecuali.

Bahkan, jika perlu, beri penghargaan bagi polisi yang berani menindak pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat. Sebuah piagam sederhana, atau sekadar hak libur tambahan, cukup untuk memberi pesan bahwa keberanian mereka tidak dibiarkan sunyi. Tapi, ini hanya sekedar usul.

Jika polisi hanya berani menindak rakyat kecil tapi takut saat berhadapan dengan kekuasaan, maka sesungguhnya yang terancam bukan hanya keadilan, melainkan kepercayaan publik.(*)

_____
*penulis adalah Moh. Syamsul Arifin. Warga Sumenep, wartawan Media Jatim.