Rekaman Wawancara 15 Mb
Malam ini saya tidak bisa tidur. Siang tadi wartawan saya memberi kabar di grup biro Sumenep, “Pak Iksan naik pitam.”
Tidak menunggu sejurus, saya minta rekamannya. Rekaman audio dikirim. 15 mb. 10.02 detik.
Sebagai orang yang bertanggung jawab atas keseluruhan kerja keredaksian Media Jatim, saya harus tahu, dan jangan-jangan, kru saya tidak sopan kepada narasumber, pikir saya.
Saya dengarkan. Suara Kadisbudporapar Iksan tidak seperti biasanya. Biasanya agak tenang dan santai. Kali ini agak tinggi nadanya.
“Pantai mana?” jawab Iksan dengan tanya, dengan nada agak tinggi, saat ditanya soal fasilitas toilet di wisata pantai.
“Pantai Lombang,” jawab wartawan.
“Itu perintah saya, ada petugas. Jadi, setiap hari dibersihkan. Kemarin sudah saya kumpulkan,” jawabnya.
“Tetapi faktanya, kemarin ke sana gak begitu, Pak Kadis,” kata wartawan.
“Gak begitu gimana? Kondisinya? Ya sudah, tulis saja, menurut sampean jelek, jelek,” kata Iksan pada detik 0.56 dalam rekaman.
“Gak apa-apa, saya. Media Jatim jangankan menulis saya, nulis Pak Bupati jelek, san misan,” imbuhnya pada menit 1.02 detik.
Saya mendengarkan kembali. Walau agak kaget. Jawaban Iksan setelah menjawab pertanyaan, justru melebar ke luar konteks wawancara.
Wartawan saya mencoba menjelaskan, bahwa tidak menulis jelek. Tapi menulis fakta.
Wartawan yang masuk ke Media Jatim tahu betul apa itu menulis fakta dan menulis jelek. Karena itu materi training tiga bulan sebelum wartawan dikontrak oleh perusahaan.
“Bukan jelek, tapi faktanya Pak Kadis,” kata wartawan.
“Itu pimpinan (Bupati, red) saya,” timpal Iksan.
Di dalam rekaman, wartawan Media Jatim terdengar tersenyum mendengar tanggapan Iksan.
Wartawan saya berkata; “Mohon maaf Pak Kadis,” katanya, meluruskan maksud wawancara.
“Saya itu maunya, kenapa Media Jatim tidak berhenti. Ambu. Ayo kita perbaiki. Masak mebelejeti sampai sebegitu detailnya (ke konteks Mobdin bupati-wabup, red). Seolah-olah itu salah yang tidak bisa dibicarakan baik-baik,” kata Iksan pada menit ke 5.00.
Wartawan menanggapi. “Kan, akhirnya pelat nomor bupati ganti sesuai data kepolisian,” kata wartawan.
Dan, wartawan saya lupa menyampaikan kepada Iksan, bahwa Mobdin Bupati Fauzi-Wabup Kiai Imam menunggak pajak–satu di antaranya dua tahun.
Jika tidak diberitakan, tidak ada yang tahu sampai kapan Samsat menunggu pembayaran pajak Mobdin itu. Wallaualam!
Sumenep dan Pola Kemitraan Media
Apa yang diberitakan Media Jatim di Sumenep, baru permulaan. Belum sebulan. Jalan ke depan masih panjang. Data-data menunggu masuk ke meja redaksi.
Di daerah lain, Media Jatim pernah menulis dugaan mahar Rp600 juta menjadi kepala dinas. Bupati mengaku gadaikan emas dan ditelusuri hingga ke data pokok pegadaian.
Media Jatim juga pernah menulis hibah tanpa proposal Disdikbud. Sultan Madura masuk DTKS. Dugaan pemotongan anggaran TPS di Pilkada, polisi jual narkoba, 914 kendaraan dinas menunggak pajak, pungli cuti guru, dan isu-isu lain yang lebih sensitif. Termasuk Mobdin Vellfire Bupati, Palisade milik Wabup, dan seterusnya dan seterusnya.
Tak ada sedikitpun di antara mereka naik pitam saat wartawan Media Jatim mulai wawancara–bahkan di sisi lain mereka sebagai mitra pemberitaan.
Itu di daerah lain. Bermitra dengan cara yang terbuka. Fakta baik diberitakan. Fakta buruk juga diberitakan.
Terbalik kondisi ini di Sumenep. Media Jatim hanya menulis sedikit saja soal mukena. Judulnya begini:
“Pemkab Sumenep Akan Pakai APBD Rp700 Juta untuk Bagi-Bagi Sarung dan Mukena”.
Lalu seorang aparatur mengontak dan berkata begini via pesan pendek:
“Gara-gara berita ini saya dimarahi bapak bupati. Saya minta berita ini di-take down saja.” Anda bisa baca catatan saya.
Bayangkan, betapa sakralnya Sumenep. Betapa menakutkannya Sumenep. Berita yang informatif saja, sepertinya, membuat bupati marah dan berita harus di-take down.
Di Sumenep, media yang bermitra dengan Pemkab, rasa-rasanya harus bertekuk lutut. Mereka yang menerima advertorial (berita berbayar, red) dilarang berteriak. Dilarang menulis fakta bila itu buruk. Yang ditulis harus baiknya saja. Pers harus menghilangkan tugasnya sebagai pemantau kekuasaan. Jika tidak, maka kemitraan akan diputus.
Pola kemitraan ini telah memadamkan semangat demokrasi–pers sebagai pilar keempat.
Media, yang semestinya menjadi pemantau kekuasaan, justru dibekuk menjadi tawanan dan tim humas kekuasaan.
Bagaimana tidak, berita yang hanya informasi datar tidak menukik dan menikung, justru membuat marah sang bapak.
Bayangkan bila media yang mengalami itu rapuh. Takluk pada bisnis. Maka berita itu akan di-take down karena bapak dan media akan runtuh dalam transaksi mahar.
Tentu, saya yakin seyakin-yakinnya, tidak ada media yang mau takluk pada kekuasaan. Setiap wartawan punya insting memantau (watchdog) di atas rata-rata warga biasa.
Media takluk karena sistem yang berlaku. Sistem kemitraan. Corak kemitraan yang mensyaratkan ketundukan ini bergantung kepada bupatinya. Apakah ia antikritik atau terbuka pada kritik. Anda bisa menyimpulkan sendiri.
Fakta dan Mencari-cari Kejelekan
Barangkali, Kadisbudporapar Sumenep harus memahami bahwa kejelekan itu tidak perlu dicari. Kejelekan akan terbuka dengan sendirinya.
Wisatawan yang datang ke Pantai Lombang akan pasti bertemu toilet yang jelek, sejumlah keran yang mati, toilet musala dipalang kayu, kerak air menguning, wastafel berubah bak sampah, dan hal-hal jelek lain.
Media datang ke lokasi hanya sebagai saksi mata. Sebagai saksi dari fakta-fakta jelek itu. Fakta itu dicatat. Lalu diterbitkan menjadi berita. Fakta itu barangkali buruk atau jelek bagi Kadisbudporapar.
Kadisbudporapar bisa malu ke publik. Bisa membuat citra bapak buruk. Bagaimana tidak, wisata Pantai Lombang yang menjadi andalan itu toiletnya rusak. Akhirnya Iksan naik pitam.
Tetapi itulah fakta rusaknya toilet Pantai Lombang. Bila itu diberitakan, memang akan buruk bagi cita Kadisbudporapar dan Pemkab Sumenep yang selama ini menggaungkan “Ayo ke Sumenep”.
Tetapi, sekali lagi dan sungguh sekali lagi, itulah fakta toilet jelek di Pantai Lombang Sumenep.
Di sisi lain, berita ini baik bagi publik. Publik menjadi tahu. Publik mendapatkan informasi. Publik akan beropini. Publik akan menilai. Publik akan mencerna. Publik akan berpikir. Akhirnya, bilamana viral, akan mendorong lahirnya justice dan kebijakan.
Itulah fungsi pers. Membuka keran opini publik. Agar publik beropini dan akhirnya para pejabat sadar apa yang harus dilakukan oleh mereka sebagai pelayan masyarakat.
Dan, tentu, menuding media mencari kejelekan padahal faktanya memang jelek adalah tindakan ad hominem–menyerang personal wartawan.
Selain ad hominem, menuding media mencari kejelekan atas fakta-fakta yang memang jelek adalah upaya menutupi fakta, dan barangkali, Iksan sedang berupaya agar media menutupi fakta toilet yang rusak.
Di akhir, saya ingin mengetengahkan apa yang disampaikan Pakar Komunikasi Krisis dan Dosen Humas Universitas Indonesia Jojo S Nugroho:
media membingkai informasi untuk membentuk makna tertentu. Tujuannya bukan manipulasi. Tapi untuk menyoroti sudut pandang tertentu yang dianggap penting dan diabaikan oleh pihak tertentu.
Dengan itu seharusnya Anda sudah paham mengapa fakta toilet rusak dan jelek di Pantai Lombang diangkat menjadi berita.(*)
_____
*penulis adalah Ongky Arista UA, Pemred Media Jatim dan penulis novel Teror Moral.