InShot_20250612_093447937

Bias Generik Kerja Pers di Kepala Tim Humas

Media Jatim
Pers
Ongky Arista UA

Bias di Kepala Tim Humas

InShot_20250611_121708493
InShot_20250611_121725186
InShot_20250611_121808313
InShot_20250611_121920141
InShot_20250611_121834221

Perusahaan pers yang memuat berita kritis kerap dipandang penuh bias, yakni, dianggap semata-mata mencari iklan atau advertorial.

InShot_20250611_121151641

Anggapan itu tentu tidak jatuh seketika dari langit. Anggapan dibentuk oleh realitas dan fenomena yang tidak ujug-ujug.

Dan, anggapan penuh bias itu tentu tidak sepenuhnya salah. Apalagi, memang ditemukan misalnya ada media yang melakukan praktik demikian.

Fenomena praktik menyimpang media semacam di atas telah melahirkan adagium naif begini: “serang dulu agar dapat iklan”.

Tidak perlu dikoreksi memakai Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Anda bisa menilai sendiri praktik ini benar atau tidak.

Parahnya, praktik “serang dulu agar dapat iklan” akhirnya membentuk persepsi bahwa berita yang kritis itu selalu berhubungan dengan kepentingan iklan media.

Ironisnya, anggapan penuh bias semacam ini cenderung diadopsi oleh tangan kanan dan kiri pejabat dan tim kehumasan.

Baca Juga:  Misteri Kain dan Jeriken Lima Liter di Dekat Mobil Warga Sampang yang Diduga Dibakar OTK

Titik Balik

Efek samping dari anggapan generik penuh bias di atas–bahwa berita kritis selalu berujung pada kepentingan iklan–mengaburkan fakta pemberitaan.

Jika ada perusahaan media menemukan fakta, dan fakta itu merugikan reputasi pemerintah misalnya, lalu diberitakan, maka tim humas cenderung tidak akan berpikir pada fakta berita yang terbit.

Tim humas akan berpikir–bahkan menuduh–bahwa media tengah memburu kepentingan iklan.

Sementara fakta yang diungkap dalam pemberitaan justru terkubur dan terabaikan.

Ujungnya, pemerintah dan stakeholders yang menjadi obyek pemberitaan akan berpikir cara mengondisikan medianya.

Apa yang terjadi berikutnya? Pemerintah lebih fokus pada upaya membereskan media yang “rewel” daripada memperbaiki kebijakan yang dikritisi oleh media.

Titik balik dari bias pemahaman atas kerja pers ini akan berdampak buruk pada kultur jurnalisme dari masa ke masa.

Alih-alih pemerintah berbenah karena diberitakan, pemerintah malah akan mencari cara membungkam pers–dengan cara memberi jatah iklan atau menutup kemitraan sama sekali.

Harapan pers hadir sebagai sistem imun yang memantau jalannya kekuasaan akan kian pupus dan terjerembap dalam pengondisian.

Baca Juga:  Inamart dalam Bingkai Kebangsaan

Jalan Terjal

Sesuatu yang harus dipahami dan dilakukan oleh tim humas dan orang yang berkepentingan dengan citra publik adalah membebaskan media menerbitkan berita kritis.

Dari berita kritis itu, tim humas bisa menelaah dan mempelajari apa saja yang menjadi catatan publik dan harus dibenahi atau dilakukan–kalau mau berbenah.

Aksi membungkan media sama sekali bukan solusi. Bahkan terkesan tidak mau mengakui kesalahan dan kelalain yang seharusnya disadari.

Tentu, sebaik-baiknya jalan yang bisa dilakukan yakni membenahi segala sistem di internal–berbenah dari dalam–agar tidak ada praktik-praktik menyimpang di tubuh pemerintah sehingga tidak ada fakta-fakta menyimpang yang terendus.

Apa mungkin tidak ada praktik-praktik menyimpang di tubuh pemerintah? Mungkin atau tidak mungkin itu kembali kepada ikhtiar para penguasa menaklukkan jalan terjal antipenyimpangan.

Namun ikhtiar itu tentu masih jauh lebih mulia daripada berupaya keras membungkam media.(*)

_____
*penulis Ongky Arista UA, Pemred Media Jatim.