Indonesia memang unik. Selain kaya alamnya, budaya dan tradisi juga melimpah. Sebagai bagian dari Indonesia, Madura memiliki tradisi Ajhiyân Makam. Tradisi ini tetap bertahan di Pulau Garam. Berikut laporan langsung wartawan Media Jatim, Gafur Abdullah, dari Kabupaten Pamekasan.
Saya menjadi saksi pelaksanaan tradisi ini. Tepat pada Rabu (13/02/2019) tradisi ini berlangsung di desa Ragang, Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan. Dalam kesaksian saya, ada beberapa hal yang penting untuk dibagikan kepada pembaca. Tapi sebelum saya menguraikannya, saya ingin bercerita sedikit tentang pelaksanaan tradisi ini.
Selayang Pandang Tradisi Ajhiyân Makam
Secara bahasa, Ajhiyân Makam ini berasal dari bahasa Madura. Ajhiyân Makam dapat diartikan mengaji di tengah kuburan yang satu atau beberapa hari sebelumnya dibersihkan. Mayarakat Ragang menyebutnya “kosaran makam”. Tradisi ini merupakan warisan dari sesepuh di daerah tersebut. Mekanisme pelaksanaannya simpel, menghatamkan Quran dari pagi sampai siang.
Orang yang mengaji ini biasanya penduduk asli di daerah tersebut. Misal ada yang dari luar, pasti ada ikatan darah dan emosional dengan penduduk setempat. Pembaca Quran pada tradisi ini beragam, dari kalangan pemuda hingga kaum tua. Pembacaan kitab suci itu dibagi, pembagiannya tergantung kondisi dan kesepakatan. Bisa jadi 15 Juz dibaca dengan memakai Toa. Masyarakat desa Ragang menyebutnya corongan. Sedang 15 Juz sisanya dibaca tanpa memakai Toa. Untuk yang memakai Toa ini biasanya khusus yang memiliki suara dan cara bacaan bagus.
Selain membaca Quran sampai khatam, dalam tradisi ini ada pembaca tahlil atau tahlilan di puncak pelaksanaan. Kemudian, orang yang datang pada acara itu makan bersama. Makan-makan selesai, selesai pula pelaksanaan acara ini.
Pelaksanaan tradisi ini biasanya berlangsung pada musim padi. Selama saya tahu dan mengenal tradisi ini, Ajhiyân Makam ini dilaksanakan pada saat padi mulai menampakkan biji mudanya atau tiba bakal buah.
Nilai-Nilai yang Terkandung pada Ajhiyân Makam
Dari kacamata hikmah, tradisi mengandung beberapa nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai itu terdapat pada poin-poin dibawah ini:
1). Kosaran Makam (bersih-bersih kawasan kuburan)
Sudah menjadi sebuah keharusan, lingkungan harus bersih. Selain penunjang pada kesehatan, lingkungan yang bersih akan menyejukkan mata yang melihat.
Dalam konteks tradisi ini, kosaran makam bertujuan agar pekuburan tidak menjadi tempat binatang buas berpulang. Diakui atau tidak, pekuburan di pedesaan tidak sebagus di perkotaan. Di kota ada juru kunci atau penjaga sekaligus bertugas untuk membersihkannya. Sedang di pedesaan mayoritas tidak ada juru kuncinya. Tak heran, jika pembaca melihat beberapa pekuburan di Madura ada pohon bambu yang rimbun. Baik di tengah-tengah bahkan di pinggiran. Tak hanya bambu, pohon lainya juga ada.
Oleh karena tidak ada penjaganya, masyarakat kompak melakukan kosaran makam ini. Kosaran makam ini sejatinya tidak hanya dilakukan saat hendak melaksanakan Ajhiyân Makam. Akan tetapi, setiap mendekati Idul Fitri dan Idul Adha juga dilakukan. Jika dihitung, kosaran makam dilakoni 3 kali dalam satu tahun.
2). Membaca Quran
Membaca Quran di sekitar pekuburan memang tak ada anjuran dalam Islam. Namun demikian, dalam tulisan ini saya mencoba memberikan penjelasan-dengan keyakinan- bahwa, insyaallah juga akan mendapat pahala dari membacanya. Kaitannya dengan konteks indonesiaan, pembacaan atau menghantam Quran pada tradisi ini bagian dari Islam Nusantara. Dengan harapan, warga kubur mendapat barokah dari khataman Quran itu.
3). Tahlilan
Tak asing lagi, tahlilan sudah menjadi ciri khas Islam Nusantara. Di kalangan organisasi keislaman, Nahdlatul Ulama adalah penjaganya. Sebagian besar, masyarakat Madura yang melaksanakan tradisi ini adalah masyarakat NU. Baik secara struktural maupun kultural.
4). Ziarah Kubur
Sepenggal sabda Rasulullah adalah, orang yang paling atau bisa dikatakan cerdas apabila sering mengingat kematian. Dalam pemahaman sederhana, orang yang datang ke pekuburan pasti ingat bahwa yang dalam kuburan itu pernah hidup. Ia pasti sadar, besok, lusa atau waktu yang ajal memang tak ada yang tahu ia pasti meninggalkan dunia ini.
Dalam konteks Ajhiyân Makam ini, dapat dipahami bahwa tradisi menjadi salah satu cara masyarakat yang melaksanakan agar cerdas dengan mengingat kematian itu.
5). Silaturahim Tetap Terjalin
Menjalin atau menjaga tali silaturahim adalah kewajiban umat Islam. Tak hanya seagama, dengan pemeluk agama lain pun wajib menjalin silaturahim itu. Namun dalam garis kemanusiaan. Sayyidina Ali Bin Abi Tholib berkata, “Saudara manusia ada dua. Satu dalam hal keagamaan. Dua dalam hal kemanusiaan”.
Dari kutipan petuah Pintu Ilmu sekaligus menantu Rasulullah itu dapat dipahami bahwa, kita wajib menjaga tali silaturrahim ini agar tidak putus.
Ajhiyân Makam, juga bagian dari menjaga silaturahim ini. Pasalnya, pada perhelatan tradisi ini hampir semua orang satu kampung bahkan lintas desa, berkumpul berbaur dalam acara ini.
6). Makan Bersama (Mengandung Nilai Sedekah)
Kalau hanya dilihat dari biologis, kapanpun dan dimanapun makanan hanya untuk kekenyangan. Dalam hal tradisi Ajhiyân Makam ini, sekilas memang untuk memberikan makan orang yang hadir pada pelaksanaan acara itu. Tapi dari sisi amaliyah, memberikan makanan pada acara itu termasuk sedekah. Mari berpikir dan mencoba mengaitkan tradisi ini dengan salah sabda Rasulullah bahwa, salah satu amal yang tidak akan putus walau jasad sudah pisah dengan nyawa, adalah sedekah jariyah. Walaupun bukan mayit dalam kubur itu yang memberikan langsung, tapi famili yang hidup biasanya pemberian sedekah itu atas nama si mayit.
Sebagai pamungkas dari tulisan ini, Ajhiyân Makam yang saya saksikan berlangsung di pekuburan tokoh sentral pada masanya, Kiai Imron. Tokoh itu bernama asal sanggaran. Salah satu sosok yang ada di balik pembangunan Masjid di Dusun Bates Timur Desa Ragang.
Gafur Abdullah, putra tulen Desa Ragang. Pendiri Rumah Baca Ratim di desanya dan founder Program One Day One Paper, program literasi di SMK Sumber Bungur Pakong Pamekasan.
Redaktur: A6