Sengaja saya meminta Habibi El-Kafi dua hari selang pagelaran wisuda sarjana ke 26 dan Pascasarjana ke 6 IAIN Madura. Kampus yang menurut saya dulu- STAIN Pamekasan- adalah kampus yang tidak begitu cocok di hati. Seiring perjalanan, tepat di pertengahan semester 2 mulai bangga menjadi bagian dari kampus Islam Negeri satu-satunya di Pulau Garam.
Saya tertarik menuliskan cerita hidupnya bukan hanya karena ia jadi wisudawan terbaik. Melainkan kegigihannya menjalani kehidupan. Saya adalah saksinya. Di tengah-tengah banyaknya mahasiswa yang kuliah dengan akomodasi dari orang tua, mulai dari biaya kampus, biaya hidup bahkan kendaraan komplit masih malas-malasan belajar. Justru Habibi sebaliknya. Biaya hidup sendiri, bahkan untuk makan pun ia harus kerja menjadi kurir atau antar jemput air galon atau isi ulang tempat ia bekerja. Selain gigih bertahan hidup di tanah rantau, ia juga gigih belajar. Orangnya ramah kepada siapapun. Tidak pernah saya temukan Habibi ditolak semua golongan di kampus. Karena saya tahu persis cara bergaul sosok Habibi ini.
Matahari tidak tampak sempurna, tersebab awan yang menebal. Mata saya liar menyisir petani yang konsentrasi menyegerakan bibit tembakau di ladang masing-masing. Siang itu, saya kontak Sarjana Pendidikan asal Peragaan, Sumenep ini via WhatsApp.
“Lek, kirim profil singkat dan beberapa raihan prestasi. Aku mau nulis tentang kamu.” Chating singkat saya saat itu, (2/07/2019).
Dibalasnya chat saya dengan singkat.”Ya Kak.” Beberapa menit kemudian, ia menyusulkan raih prestasi sesuai permintaan saya. Biarlah saya tulis nanti di paragraf lain.
Saya pun membalas. “Sampaikan apa yang ingin disampaikan lek. Perjalanan kuliah, sambil kerja, organisasi, hingga hal apapun yang ingin disampaikan. Terserah. Pesan kepada mahasiswa boleh.”
“Voice ki, Kak.” Balas aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu. Saya mengiyakan dengan balasan dua huruf “Ok”.
Sebagai penikmat WhatsApp, saya tidak hanya chatting Habibi. Saya balas chat yang lain juga.
Sembari menunggu, saya mengerjakan tugas rumah. Beberes dan mengepel lantai. Tak lupa saya makan nasi jagung, ikan asin, tempe, dan sup seadanya yang diambil di sekitar pekarangan rumah. Menu makanan khas kampung seperti itu memang sudah lama saya rindukan. Maklum, selama nyampus, terbiasa makan nasi ala mahasiswa yang hidup di rumah indekost. Jangan kira makanan anak kos-kosan mewah. Karena makanan penghuni kos-kosan ya mentoknya paling enak Mei Instan. Malah makanan favorit. Itupun kalau uang bulanan masih sesak di dompet.
Makan sudah. Beberes sudah. Giliran rujak pepaya dan asam yang kecutnya membuat mata menyipit. Jarum jam berada di angka 11. Tidur siang dipaksakan. Bangun tidur dan lihat jam di ponsel sudah tampak angka 13 lebih beberapa menit. Aktifkan paket data, ponsel bunyi, voice dari Habibi datang.
“Assalamualaikum, Kak Gafur. Maaf jika merepotkan. ” Saya tutup sementara karena bergegas mandi, wudhu dan shalat Dzuhur. Usai sudah saya bersujud. Lalu bergegas ke dapur untuk menyantap sepiring nasi di depan televisi untuk nyambi menonton berita di televisi.
Makan nyambi nonton TV tamat. Saya meraih ponsel yang saya letakkan di depan TV dan bergegas ke luar rumah. Sebagai anak pedalaman, untuk koneksi internet lancar, saya harus pergi ke rumah saudara yang geografis tanahnya lebih tinggi.
“Untuk perjalanan kuliah, awalnya saya hanya mendengar nama STAIN. Tapi saya tidak tahu bentuknya seperti apa dan di mana lokasinya. Bermodal uang tabungan yang saya tabung sejak kelas 5 MI. Totalnya 900 ribu.” Cerita Best Speaker Debat Pendidikan se-Indonesia di Universitas Negeri Malang 2018 silam.
Ia melanjutkan ceritanya. Kata mahasiswa berperawakan Humoris itu, namanya tercantum di daftar calon mahasiswa baru di STAIN Pamekasan waktu itu setelah dinyatakan lolos jalur UMPTKIN 2015 pada Prodi Manajemen Pendidikan Islam sekaligus sebagai angkatan kedua. Saat itu, ia juga masuk kelas unggulan selama satu semester.
“Sempat, saya mau putus asa. Karena beasiswa kelas unggulan ternyata dihapus pada detik-detik akhir semester pertama. Uang saya habis untuk biaya selama satu semester. Saya bingung, mau pulang ke rumah untuk minta ke Emak, gak mungkin. Kasihan. Akhirnya, alhamdulillah saya bertemu dengan pemilik usaha air galon Abel. Namanya Om Rosi. Itu di samping kampus. Saya berkerja sebagai penjaga air galon plus sebagai kurir mengantarkan ke perumahan dan kosan satu ke kosan lainnya. Ya, dari sana saya mulai menyambung hidup. Alhamdulillah, ya walaupun tidak mewah. Setidaknya saya bisa bertahan untuk kuliah,” bebernya lirih.
Bagi seorang aktivis organisasi, mungkin harus berpikir dua kali untuk kuliah, kerja dan bergelut dengan aktivitas organisasi yang memang butuh manajemen waktu yang mapan. Tapi bagi Habibi, kuliah nyambi kerja bukan halangan untuk tidak beroganisasi.
“Mau gimana lagi, Kak. Satu sisi saya harus memenuhi kebutuhan hidup di tanah rantau. Tapi di sisi lain, akademik saya ingin mapan. Organisasi pun ingin maksimal. Namun jelas harus pintar ngatur waktu. Ya termasuk ikut LPM Activita di kampus dan PMII di luar kampus. Karena dikerjakan satu waktu. Antara kuliah, organisasi dan pekerjaan antar air galon, di LPM tak maksimal. Saya pun menyayangkan, semester kedua saya tidak bisa ikut DJTL di LPM,” tutur Habibi sesal.
Belum selesai voice saya putar. Rokok di tangan tak terasa sudah sampai di pangkal. Saya ambil sebatang Geo Mild dan saya sulut. Isapan pertama rokok favorit saya terasa nikmatnya. Saya terus mendengarkan voice dari Habibi.
“Sampai pada akhirnya, saya diamanahkan menjadi sekertaris HIMA Prodi MPI pada semester 5. Jadi sekretaris HIMA adalah tantangan tersendiri. Saat itu saya bersikeras untuk maksimal kerja dan organisasi itu. Tidak hanya itu, saya juga diajak ikut Debat Pendidikan di berbagai ajang dan beberapa kampus,” Habibi melanjutkan ceritanya.
Habibi banyak menorehkan perestasi. Baik sejak MI hingga di kampus. Selama di PP. Hidayatut Thalibin, ia dinobatkan sebagai Suri Tauladan selama 5 tahun. Juara Harapan Debat Tema Kebangsaan tingkat STAIN Pamekasan. Juara 1 Lomba Debat Pendidikan se Jawa-Bali di UIN Maliki Malang 2017. Meraih Best Speaker Lomba Debat Manajemen se-Indonesia di Universitas Negeri Malang 2018.
“Terakhir, saya mendapat Penghargaan Pemuda Berprestasi oleh Pemkab Pamekasan 2018 dan didelegasikan pada program KKN Nusantara di Lombok,” Habibi bercerita sederet prestasinya.
Untuk organisasi, Habibi tidak hanya jadi sekretaris HIMA. Ia juga menjadi Pengurus Komisariat PMII IAIN Madura dan dipercaya untuk jadi presiden mahasiswa IAIN Madura tahun 2018 silam. Tapi tidak sampai pemilihan, ia gagal. Tersebab pemilu mahasiswa saat itu berkahir ricuh.
Riwayat pendidikan pria bernama Ach. Habibi El-Kafi ini dimulai dari TK, MI, MTS, MA di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin, Peragaan, Sumenep. Dan melanjutkan perkuliahan di IAIN Madura.
Saya berhenti sejenak. Tertegun mendengar ceritanya selanjutnya. Ternyata, Habibi adalah sosok pria tangguh. Ia menceritakan betapa rindunya sosok ayah. Menetes air mata saya saat Habibi menuturkan tidak pernah mendapat kasih sayang ayahnya. Katanya, ia ditinggal ayahnya saat berusia 4 bulan dalam kandungan. Andai saya menelpon, ingin saya tanyakan alasannya. Speaker ponsel saya tempelkan di telinga untuk memperjelas ceritanya.
“Bapak ada, Kak. Tapi mulai saya di dunia sampai hari ini, tidak pernah merasakan kasih sayangnya. Tak pernah bapak datang menjenguk.” Air mata saya deras membelah pipi. Mata saya berkaca-kaca. Saya teringat mendiang ayah saya. Sama dengan Habibi, saya juga rindu sosok ayah. Bedanya, ayah Habibi masih hidup tapi sama halnya dengan mati, karena tidak pernah menjenguk apalagi menafkahinya. Sedang ayah saya tutup usia sejak usia saya dua tahun. Namanya juga anak, pasti butuh sosok ayah.
Kepada mahasiswa IAIN Madura, Habibi berpesan, keterbatasan biaya bukan alasan untuk tidak meneruskan pendidikan.
Penulis: Gafur Abdullah