Save Madrasah Diniyah

Media Jatim

Oleh: Moh. Jufri Marzuki*)

Dahulu, penyelenggara pendidikan yang resmi dan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda adalah sekolah yang didrikan oleh Belanda sendiri, seperti HBS. Anak didiknya terdiri dari putera-puteri Belanda, anak cucu ningrat, kalangan priyayi dan abangan yang telah jinak menjadi mitra penjajah.

Adapun anak-anak pribumi, sama sekali tidak diberikan hak pendidikan sedikitpun. Mereka ditelantarkan dalam kebodohan, hidup dan mati tanpa pernah mengenyam arti pendidikan. Mendidik mereka sama halnya dengan menciptakan cikal bakal pemberontakan; merebut kembali kemerdekaan dengan cara yang lebih cerdas dan mampu melawan dengan kekuatan ilmu dan peradaban.

Kecuali mereka yang telah dijinakkan (putera-puteri priyayi, ningrat, dan abangan), mendidik anak-anak pribumi samahalnya dengan menciptakan sebuah ancaman yang sangat besar. Tapi, para ulama’ dan kiayi tidak tinggal diam. Dibangunlah surau (mushalla) yang fungsinya tidak hanya untuk kegiatan peribadahan, diam-diam dijadikan pusat kegiatan pendidikan bagi anak-anak dan remaja yang lahir dari rahim rakyat jelata, kaum miskin dan masyarakat petani yg bernasib papa. Mereka bisa menginap disana, atau berangkat dari rumahnya.

Waktu berselang, kegiatan belajar mereka tercium oleh pemerintahan Belanda. Para kompeni menjadi berang. Ulama’,  kiai dan ustadzpun jadi terancam. Kekhawtiranpun terus membuat mereka bimbang. Sedangkan masa depan tunas-tunas bangsa harus tetap dijaga, dipertahankan dan diperjuangkan melalui jalur pendidikan.

Akhirnya, kekhawatiran para guru, kiai dan ulama’pun menemukan titik klimaksnya. Kemarahan penjajah Belanda tak dapat terbendung juga. Dikeluarlanlah kebijakan baru oleh kolonial untuk membinasakan kegiatan pendidikan anak-anak bangsa yang disebut degan ‘Ordonansi Sekolah Liar’.

Buntutnya, sekolah anak pribumi yang dianggap liar dibubarkan secara paksa dengan perlawanan yang tidak ada artinya bagi tentara Belanda. Surau tempat mereka belajar dibakar, para murid dan orangtuanya dihajar, tapi untungnya para ustadz, kiai dan ulama’ dapat lari menyelamatkan diri tak terkejar.

Pelarian mereka benar-benar tidak terlacak,  tentara belanda kehilangan jejak. Ternyata ulama’ dan kiai yang diikuti oleh para warga sekitar bersembunyi di hutan bagian pedalaman. Ada pula yang tersesat hingga di bibir pantai. Di sana akhirnya mereka tinggal, menjauh dari hiruk-pikuk penindasan dan kebijakan pemerintahan kolonial yang tak memihak rakyat kecil.

Baca Juga:  Berbaur, Potensi Desa dan Ikhtiar Ekonomi Kerakyatan

Di hutan belantara dan tepi pantai sepi kemudian mereka hidup aman, kegiatan pendidikanpun kembali dijalankan, dengan komposisi kurikulum agama yang dominan. Tidak hanya mengajarkan Calistung (membaca, menulis dan berhitung), mereka juga belajar ilmu agama Islam seperti Fiqih, Tauhid, Akhlaq dan Tarikh.

Hari ke hari, pembelajaran terus berkembang. Keberadaannya mulai terendus oleh masyakat sekitar. Mereka berdatangan, memasrahkan dan menitipkan anak-anaknya utuk belajar. Akhirnya tidak hanya surau, dibangun pula pondok bambu sebagai penginapan untuk para murid yg rumahnya jauh dari tempat belajar oleh sang kiai bersama suluruh murid dan warga sekitar.

Dari sini, lahir para asatidz, ulama’, dan kiai yang selanjutnya tumbuh menjadi para pejuang. Gelar murid berubah menjadi santri; untuk membedakan hasil didikan sekolah Belanda dengan pribumi. Ruang belajar mereka bukan sekolah, tapi Madrasah Diniyah; untuk menegaskan disiplin ilmu yang dikuasai oleh para alumni dengan komposisi ilmu agama yang lebih mendominasi.

Asrama tempat mereka menginap untuk memudahkan pengaturan waktu dan jadwal belajar bernama Pondok Pesantren, bukan Bording School; karena di sana mereka tidak hanya belajar, tapi beribadah dan mengharap barokah.

Inilah cikal bakal pondok pesantren, yang selanjutnya – pasca kemerdekaan – keberadaannya diakui secara resmi, didukung dan dikembangkan oleh pemerintah. Kontribusinya sangat besar dalam membumikan nilai-nilai agama sesuai bunyi pancasila yang pertama, karena di dalamnya terdapat Madrasah Diniyah yang kurikulumnya berdiri sendiri – meski sebenarnya akhir-akhir ini Kementerian Agama ikut campur dalam mengatur – demi melestarikan khazanah karya ulama’ klasik yang tertuang dalam kitab turats/kuning.

Belakangan, Madrasah Diniyah tidak hanya dikembangkan di dalam pesantren. Di luar pesantren,  eksistensinya juga diminati sebagai penyeimbang kurikulum pendidikan umum-modern yang diterima pelajar kita di sekolah formal. Inilah sebenarnya langkah pemerintah yang harus didukung karena merupakan kebijakan untuk menghindari dualisme pendidikan yang sementara dinilai pilih kasih. Artinya, pendidikan agama dan umum harus diberikan porsi yang sama, meski sebenarnya jumlah jam belajarnya berbeda dengan tetap memperhatikan kondisi fisik dan psikis siswa. Sehingga, sisa jam sekolah umum yg lebih sedikit tetap diterima asalkan bisa digunakan secara efektif dan maksimal.

Baca Juga:  Tajamara: Ruang Terbuka Hijau yang Cocok untuk Bersantai

Namun kini, hak belajar di Madrasah Diniyah telah diberangus. Kebijakan Full Day Schooll dengan meliburkan sekolah formal di hari Sabtu dan memperpanjang jam belajar hingga jam 15.00 WIB, sama halnya dengan membubarkan Madrasah Diniyah secara perlahan. Sekolah berbasis agama itu harus ditutup dengan sendirinya karena siswanya sudah kelelahan, bahkan tidak bisa mengikuti kegiatan belajar di jam pertama karena masuknya ada yang jam 14.00, sedangkan mereka masih mengikuti kegiatan belajar jam terakhir di sekolah formal.

Kebijakan ini sangat tidak populis dan dikeluarkan tanpa pertimbangan yang merangkul semua aspirasi dan kepentingan masyarakat serta pegiat pendidikan secara general. Apa bedanya dengan penjajahan Belanda yang menerapkan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar? Bedanya mungkin hanya pada redaksi; Ordonansi Sekolah Resmi oleh negara sendiri.

Mari bergerak dan berteriak, “Save Madrasah Diniyah…!!”.  Memaksa pemerintah mengembalikan Madrasah Diniyah pada tempatnya. Jangan biarkan keikhlasan, ghiroh dan himmah para ustadz, kiai dan ulama’ yang selama ini mengembangkan pendidikan agama di Madrasah Diniyah untuk negeri ini serta jarang tersentuh kebijakan baik pemerintah, malah dibalas dengan egoisme dan penjajahan agama berkedok kebijakan Negara. Nyalakan api jihad, turun ke jalan, robohkan kekuatan tirani yang hanya berdiri diam seakan menantang. Yakinlah bahwa hari ini, para Awliya, Fuqoha’,  Ulama’ dan Syuhada’ sedang khusyuk mendo’akan dari alam barzakh untuk Madrasah Diniyah ke depan.

*) Seorang Ustadz di Madrasah Diniyah Nahdliyatul Islamiyah, Nyalaran Blumbungan Pamekasan.