Nasir Abbas: HTI Ingin Menegakkan Negara Islam dan Bersinggungan Dengan NKRI

Media Jatim
Acara Civil Soecity Network (CSN) menggelar Diskusi Publik ‘Melawan Propaganda Arus Gerakan Transnasional Agama’, Senin (02/09/2019) di Hotel Sentral Jl. Pramuka, Jakarta Pusat, (Foto: BP).

MediaJatim.com, Jakarta – Civil Soecity Network (CSN) menggelar Diskusi Publik ‘Melawan Propaganda Arus Gerakan Transnasional Agama’, Senin (02/09/2019) di Hotel Sentral Jl. Pramuka, Jakarta Pusat.

Dalam sambutannya Moh. Toha, Direktur Eksekutif CSN selaku Ketua Pelaksana dalam mengatakan, hari ini banyak masyarakat dan bahkan ASN, BUMN dan tokoh masyarakat terindikasi dan terpapar radikalisme kelompok khilafah.

“Dimungkinkan lambat laun gerakan ini punya harapan bisa mengganti dan membubarkan negara ini. Gerakan kelompok ini masif sekali dan bisa jadi 30 tahun kedepan, kita tidak tahu apakah pancasila masih ada kalau gerakan ini masi di biarkan,” kata Moh. Toha.

Sementara itu Ustad Al Khattat Sekjen FUI/Mantan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengatakan, Ideologi atau Al Mabdah adalah akidah rasional dan bukan dogmatis. Dimana terpancar dalam sistem dan tertuang dalam syariah atau tertuang dalam peraturan-peraturan.

“Jangan alergi dengan syariah, karena Wapres kita KH Ma’ruf Amin banyak menjadi dewan komisaris dalam Bank Syari’ah. Dan nilai-nilai Ketuhanan tertuang dalam sila pertama Pancasila, Ideologi Pancasila telah diletakkan oleh funding father kita sebagai dasar negara, dan mejalankan syariah adalah bagian dari nilai-nilai ketuhanan,” kata Al Khattat.

Menurutnya, HTI tak perlu di takuti, karena tidak bisa menegakan negara, karena tidak punya kekuatan militer dan HTI bukan pemerintah HTI. HTI hanyalah menyebarkan pemahaman khilafah yang mereka yakini dalam ajaran Islam.

“Yang paling bahaya masalah Papua, karena kalau tidak ditangani malah berbahaya. Transnasional bukan hanya HTI yang berpaham agama Islam, yang lain juga transnasional. Kristen, Budha Katholik, Hindu juga trans nasional sebab agama asli nusantara adalah dinamisme,” jelasnya.

Selanjutnya Al Khattat mengungkapkan, kata Bung Karno yang harus diwaspadai adalah neokolim (neo-kolonialisme), bukan HTI yang ditakuti, dimana bergeraknya hanya dakwah dan kemasyarakatan.
“Saya sekarang membikin gerakan sholat subuh berjamaah untuk Indonesia. Karena dengan sholat subuh bersama, ayo kita menuju kejayaan bangsa Indonesia,” tukas Al Khattat.

Sementara itu Mukayat Al-Amien Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PP PM) menerangkan, semua ideologi memang transnasional, bukan hanya soal agama, apalagi di arus globalisasi semua bisa menjadi transnasional, misalnya pop culture dari korea selatan, gerakan LGBT dari eropa/barat.

“Hari ini gerakan transnasional bersinggungan dengan ideologi negara, sehingga pemerintah perlu membatasi gerakan mereka. Muhammadiyah dan NU yang sudah berdiri sebelum Indonesia merdeka, harus ikut aturan main. Pancasila adalah aturan main, atau darul ahdi wasahada,” gamblangnya.

Menurut Mukayat sapaan akrannya, gerakan transnasional masuk ke Indonesia paska reformasi. Dimana ketika kebebasan berkumpul, berserikat, berbicara dibuka selebar-lebarnya. Sehingga gerakan transnasional menjadi tumbuh dan berkembang di Indonesia.

“Selain ideologi agama, ada juga pemahaman yang mengusung tentang idelogi kebebasan dan HAM. Contoh gerakan LGBT yang menuntut kebebasan dan HAM,” ujar pria asal Lamongan ini.

Selanjutnya kata Mukayat, ada 2 faktor gerakan transnasional. Yang pertama adalah faktor internasional, karena ada ketidakadilan dunia kepada Islam, dimana Islam selalu dijadikan objek ekspansi ekonomi, ekspansi kekusaan dan ekspansi politik, contoh kasus Palestina, setiap hari ada orang yang mati tidak ada masalah di kacamata internasional. Contoh lainnya, Irak, Syiriah, Lebanon dll.

Baca Juga:  Penganggaran Dana Penanggulangan Covid-19 Desa Demung Diduga Tidak Tepat

“Dalam kajian orientalis Islam adalah kelompok rendah atau lampau (the older). Liberalisme sebagai bentuk penjajah ekonomi dengan agen-agennya menaklukkan negara-negara berkembang. Sehingga berempati pada kejadian tersebut, sehingga wajah Islam dimana-mana dunia tidak berpihak pada Islam,” jelas Mukayat.

Selain itu kata Mukayat, contoh lagi di negara Nyanmar, Rohingnya. Sehingga faktor internasional di kapitalisasi sebagai gerakan transnasional agama Islam.

“Hal ini yang menumbuhkan kesadaran gerakan transnasional Islam untuk bersatu dan bergerak lebih maju melihat ketidakadilan global terhadap Islam,” ujarnya.

Selain itu juga faktor nasional, dimana nilai-nilai Pancasila hanya sebatas sebagai simbol. Contohnya ada perlakuan tidak adil dalam bidang hukum, ada seorang nenek mencuri 3 kayu magrove dihukum 2 tahun, sedangkan koruptor juga dihukum 2 tahun.

“Ini sebagai bukti ada kesenjangan ekonomi dan hukum, serta adanya ketidakadilan berbangsa dan bernegara,” tandasnya.

Menurut Mukayat, kekuatan identitas kita sebagai gerakan sosial keagamaan yang sudah lama, baik Muhammadiyah dan NU harus menjaga dan membina warganya agar tidak dipapar gerakan transnasional.
Banyak masjid dan sekolah diambil oleh gerakan transnasional, baik NU dan muhammadiyah.

“Sekarang gerakan kita adalah wathosyiah, sebagai kontekstualisasi ajaran Islam di zamannya. Membumikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan, berbangsa dan bernegara. Sehingga ada implementasi dan kohesi untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila yang menjadi tanggungjawab semua pihak termasuk politisi dan ulama. Dan kebijakan pemerintah yang harus tegak lurus dalam hukum,” pungkas Mahasiswa S3 FISIP Universitas Airlangga (Unair) ini.

Selanjutnya, Nasir Abbas Mantan Aktivis Jama’ah Islamiyah mengatakan, terbentuknya sebuah negara harus ada masyarakat yang mendukung untuk menjalankan negara. Wilayah yang dikuasai sebagai teritori batas negara, Harus memiliki kekuatan senjata atau militer untuk mempertahankan negara bukan untuk menyerang atau membunuh sembarangan.

Sementara katanya, gerakan radikalisme membagi dua negara; negara islam dan negara kafir. Indonesia dianggap darussalam atau negara Islam bukan negara kafir.

“Negara islam atau daulah islam atau iqomamuddin, menegakkan syariat Islam menjadi tujuan radikalisme Islam. Selama tidak menjalankan negara islam dianggap kafir atau darul kuffar, thoghut atau darul had.

“Benar HTI tidak bersenjata dan tidak mengirim orang pada negara konflik, tapi HTI punya slogan menegakkan khilafah. Sebelum menegakkan khilafah harus ada daulah, sama dengan gerakan politik yaitu ingin membentuk negara Islam,” kata Nasir Abbas.

Hal ini menurutnya yang membuat pemerintah terganggu karena negara Indonesaia adalah negara Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

“Ada dua pendapat ulama yang mewajibkan tegaknya negara Islam dan ada yang tidak wajib. NII dalam strateginya bukan hanya dengan kekuatan militer, akan tetapi pendekatan personal atau pembinaan teritori. Dimana masyarakat diajak membandingkan antara NKRI dan Islam,” jelasnya.

Baca Juga:  Resmi, Jokowi Lantik 17 Duta Besar

Kata Nasir Abbad, dahulu Ustad Abu Bakar Ba’asyir adalah NII dan saya adalah NII yang direkrut secara transnasional. Katanya dirinya dan bapaknya adalah warga negara Malaysia diajak bergabung ke NII.

“Ustad Abu Bakar Baasyir membentuk kelompok baru dengan nama Jamaah Islamiyah dengan mantiki-mantki atau wilayah terbagi dalam beberapa negara. Jamaah Islamiyah fokus di Indonesia dan tujuannya menegakkan negara Islam,” tukas Nasir Abbas.

Menurut Nasir Abbas, gerakan ini semua oleh negara disebut Radikalisme , karena NII dan JI menegakkan sebuah paham dengan jalur kekerasan, bahkan harus melawan pemerintah yang ada, kalau tidak minimal menguasai sebuah wilayah untuk ditegakkan negara Islam.

Dalam diskusi ini Syafrudin Budiman SIP Aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Pusat mengatakan, kenapa harus menegakkan Islam secara simbolik tidak substantif saja? Kenapa HTI tidak bikin parpol saja?.

“Gerakan Islam subtantif lebih efektik berjalan dan terbukti hingga hari ini. Gerakan Islam subatantif menjadi pilihan NU dan Muhammadiyah sejak jaman pergerakan nasional dan terbukti nyata konstribusinya hari ini untuk Indonesia” ujar pria yang biasa disapa Gus Din ini.

Selain itu Gus Din mempertanyakan, kenapa HTI tidak jadi partai politik dan ikut pemilu di era demokrasi ini. Agar tidak ada kecurigaan dari negara kalau HTI tidak mengakui Pancasila?

Ust. Al Khattat menjawab penyataan Gus Din, menegakkan islam secara simbolik dan substantif sama-sama penting. Ada yang menganggap simbolik itu penting, jadinya seperti HTI menginginkan negara Khilafah agar bisa menerapkan hukum Islam.

“Dulu sewaktu saya masih ada di HTI atau jadi pimpinan, sudah pernah saya munculkan ide jadi parpol itu. Tapi entah kenapa sampai sekarang dibubarkan tidak ada itu ide muncul lagi.

Selanjutnya Mukayat menyatakan, Pancasila adalah identitas kita dan sebagai imunitas atau benteng dalam NKRI. Katanya, apalagi kita kuatkan dengan penerapan hukum dengan baik, tentu ancaman untuk mengganti ideologi Pancasila semakin terbatas geraknya.

“Pancasila harus kita amalkan agar paham-paham transnasional tidak mudah merasuki putra putri bangsa ini. Jadi mari kita evaluasi diri, Pancasila harus kita tegaskan ulang sudah final dan tak bisa digugat apalagi mau diruba,” jawabnya.

Selain itu kata Mukayat, pemerintah harus paham bagaimana menerapkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai setiap rezim berbeda dalam menafsirkan dan mengamalkan pancasila.

“Jadi kita harus punya pedoman penerapan nilai-nilai pancasila yang benar. Terutama dalam implementasi pelaksanaanya yang berpihak pada rakyat bukan pada kekuasaan,” tandasnya.

Terakhir Nasib Abbas menjawab, Kalau penerapan agama Islam secara substantif sangatlah lebih penting. Tidak perlu negara Islam, yang paling penting bagaimana Islam bisa berkembang dengan baik seperti di Indonesia meskipun berdasarkan pancasila.

“Dasar negara kita sudah final, dasarnya Pancasila dan sebagai pilar negara, bersama NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika,” tegas Nasir Abbas.

Reporter: Ist

Redaktur: Zul