MediaJatim.com, Banyuwangi – Kejadian ini bermula saat prosesi ritual Keboan digelar masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Puluhan warga yang kesurupan bertingkah layaknya hewan kerbau. Mereka menjerit dengan mata memerah, bergulung – gulung di kubangan air berlumpur, Minggu (8/9).
Satu persatu warga yang kesurupan ini didampingi sanak saudaranya. Mereka membawa air bersih untuk membersihkan wajah manusia kerbau yang baru saja menceburkan diri ke kubangan tersebut.
Prosesi semakin semarak, saat para panjak gamelan khas keboan mengiringi warga yang kesurupan melakukan serangkaian ritual adat bersama sosok visualisasi Dewi Sri lengkap dengan kereta kencananya yang dipenuhi hasil bumi, mengelilingi kampung.
Menurut Anton Sujarwo SE Kepala Desa Aliyan, kesurupan masal ini terjadi satu kali dalam setahun tepat di Bulan Suro, saat ritual dilaksanakan. Ritual ini merupakan ritual adat yang rutin dilaksanakan warga untuk ngalap berkah kepada Sang Maha Kuasa. Karena atas Karunia-NYA hasil tanaman warga melimpah ruah.
“Selain sebagai wujud rasa syukur, ritual juga sebagai selamatan desa untuk menolak balak agar warga terhindar dari mara bahaya,” jelasnya.
Ritual diawali dengan kenduri, doa bersama seluruh warga. Tak lama kemudian, satu persatu warga mulai kesurupan. Beberapa warga yang kesurupan diarak mengelilingi kampung lengkap dengan alat pembajak sawah, diakhiri dengan prosesi menebar benih atau ‘Ngurit’.
Yang menjadi pusat perhatian dalam ritual ini, saat prosesi menebar benih. Yang mana benih – benih padi itu ketika disebar dikawal puluhan warga yang kesurupan tersebut.
Benih itu dipercayai memiliki keberkahan tersendiri. Warga yakin barang siapa yang bisa mendapatkan benih usai diritual, maka hasil tanaman persawahanannya akan melimpah. Namun jangan harap bisa mendapatkan benih itu. Karena sang perebut benih harus berhadapan dengan para manusia kerbau yang keserupan.
“Ini kepercayaan warga dari dulu, hingga sekarang keboan tetap dilaksanakan untuk meminta keberkahan sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur warga kepada Sang Maha Kuasa,” terangnya.
Menurut Anton, keboan digelar sejak Desa Aliyan dilanda wabah ‘kresek’ atau paceklik beberapa abad lalu. Dari wabah yang melanda desa, Buyut Wongso Kenongo yang merupakan leluhur Desa Aliyan berdo’a memohon kepada Sang Maha Pecipta agar dihindarkan dari wabah penyakit yang melanda desa.
Dari wangsit yang didapat, Buyut Wongso Kenongo meminta kedua anaknya, yakni Raden Pringgo dan Raden Pekik untuk bertapa. Saat bertapa, terjadilah prilaku aneh di keduanya.
Mereka bertingkah layaknya hewan kerbau, bergulung – gulung di area persawahan. Dari prilaku aneh kedua anak Buyut Wongso Kenongo, seketika itu wabah tersebut langsung sirna.
Masyarakatpun bisa kembali mengolah sawah serta mendapatkan hasil panen yang melimpah. Dari prilaku kedua anak Buyut Wongso Kenongo itulah hingga kini dikenal masyarakat Desa Aliyan sebagai Keboan.
“Semua dusun yang ada di Aliyan melaksanakan ritual keboan. Warga yang kesurupan diakhir prosesi dinetralisir hingga sadar seperti semula. Ini warisan leluhur yang harus kita lestarikan,” pungkas Anton.
Ritual adat ini dibuka langsung Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, yang hadir bersama Sekertaris Daerah Banyuwangi Ir. Mujiono.
Reporter : Yudi Irawan
Redaktur : Sulaiman