Oleh: Abdul Gaffar Karim
Sering kita lihat ada orang-orang yang mengalami transformasi dalam kehidupan beragama, lalu hijrah “min al-dzulumat ila al-nur (dari kegelapan menuju cahaya).”
Jika mereka punya nama “sekuler”, kadang ada kegelisahan. Hijrah mereka serasa tak tuntas. Mereka lalu mengganti nama itu sebagai bagian dari proses hijrah, meski dengan penggantian yang tak resmi (misal Gatot menulis namanya jadi Al Khaththath; Bagus diganti jadi Al Baghuzi, atau Suryani menjadi Ummu Aisyah merujuk pada nama putrinya).
Anda kini sedang mengalami proses transformasi serupa itu? Sebelum mengutak-atik nama Anda, coba pikirkan hal berikut:
Nama Anda adalah pemberian orang tua. Dalam nama itu ada doa dari kedua orang tua Anda. Seseorang mungkin susah terkabul jika berdoa untuk diri sendiri. Tapi jika dia berdoa sebagai orang tua untuk anaknya, ‘Arsy pun akan terguncang. Doa orang tua untuk anaknya akan sangat mudah terkabul, meski doa itu “cuma” berupa bersit harapan yg sangat samar di hati. Orang tua tak perlu TOA saat berdoa untuk anaknya.
Bayangkan betapa kuatnya doa orang tua yang diwujudkan dalam nama bagi anaknya. Jika bapak-ibu memberi nama “Bejo” pada Anda, maka itulah doa mereka: agar hidup Anda senantiasa bejo alias beruntung. Sebagian besar keberuntungan hidup yang Anda rasakan sangat boleh jadi adalah karena Allah mengabulkan doa itu.
Percayalah, seribu doa dari Grand Imam Al Azhar, seribu doa dari Imam Besar Istiqlal, sejuta doa gabungan dari Ketua PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PBNU, dan seribu aksi massa dipimpin oleh Imam Besar FPI, tak akan sanggup menandingi satu doa lirih dari orang tua Anda di balik nama “Bejo” itu.
Jika Anda mengganti nama itu, meski tidak resmi, sadarkah Anda bahwa yang Anda lakukan sebenarnya adalah MENOLAK DOA dari orang tua? Bagaimana jika Allah merevisi kabulan-kabulan doa itu, dan mencabut keberuntungan dari hidup Anda?
Abdul Gaffar Karim adalah Dosen Universitas Gadjah Mada.