Habermas di Pesantren

Media Jatim

Oleh: Haris Jamil*

Para pembelajar filsafat pastilah tidak asing dengan sempalan Madzhab Frankfurt, Jurgen Habermas. Dia mengkoreksi pendahulunya, Marx dan Hegel berkenaan dengan Teori Kritis, dan membuat tesis anyar tentang Teori Komunikasi. Salah satu yang terkenal, dan saya punya istilah sendiri soal teori ini, adalah Teori Ngopi alias Teori Nyangkruk. Menurutnya, untuk mencapai konsensus diperlukan setidaknya dua hal, kesetaraan, dan komunikasi informal. Kesetaraan diperlukan agar komunikasi berjalan seimbang tanpa dekte dan intimidasi dari salah satu pihak. Komunikasi informal sangat efektif untuk memecah kebuntuan perbedaan pendapat, karena perbedaan friksi yang akut kerap mustahil dipecahkan lewat komunikasi formal dan adu kritik.

Teori komunikasi intersubyektif ala Habermas di atas bukanlah hal yang asing di pesantren. Konsep kesetaraan di pesantren dikenal dengan istilah al musawah. Seorang guru, biasa srawung (bergaul) dengan para santri seakan tanpa sekat. Ngantin bareng, makan bareng, kerja bareng, tidur bareng, dan seterusnya. Bahkan seorang kyai biasa bermain dengan santri-santri kecil dan mendongeng untuk mereka layaknya ayah dan anak.

Baca Juga:  Peduli Kebersihan, Bupati Baddrut Hibahkan Kendaraan Sampah untuk Pesantren

Untuk komunikasi informal, barangkali pesantrenlah juaranya. Hampir semua komunikasi di pesantren dilakukan dengan model informal yang biasanya identik dengan ngopi dan ngudud (merokok). Bahkan rapat-rapat besarpun dilakukan dengan cara yang santai, gelar tikar di serambi, atau bahkan di kandang ayam, ngopi, ngudud, dan kadang lebih banyak guyonnya (bercanda). Bisa dikatakan, untuk urusan ngopi dan nyangkruk, santrilah ahlinya. Karena di pesantren ada jargon: “berapa banyak kebenaran dan kebaikan tersampaikan justeru lewat joke alias guyon.” Bukan seminar, kritik pedas, atau nyinyir.

Dari dua model komunikasi Habermas, pesantren melengkapinya dengan dua hal lagi yang justeru bagi kalangan santri merupakan hal terpenting, yaitu, akhlak al karimah (tatakrama), dan lurusnya niat.

Akhlak al karimah bisa diterjemahkan secara bebas dengan adab sopan santun, tatakrama, dan adat kebiasaan. Hal ini penting untuk menjaga keluhuran budaya dan kearifan lokal. Seberapapun dekatnya seorang guru dan murid, urusan cium tangan ya tetap cium tangan. Urusan melanggar peraturan ya tetap dita’zir (dihukum). Sehingga model pergaulan al musawah dengan akhlak ini menjadi model kolaboratif yang unik antara konsep keterbukan dan profesionalitas.

Baca Juga:  Pentingnya Peran Media di Tengah Pandemi Covid-19

Selain akhlak, hal terpenting lainnya adalah niat yang baik dan lurus. Semua santri tentu mengerti pentingnya niat. Tanpa niat yang benar, semua amal ibadah batal. Tanpa niat yang lurus, komunikasi hanya akan mengarah pada perdebatan yang berujung sakit hati dan perpecahan. Niat memang tidak terlihat, tapi karena betapa pentingnya ia, maka seluruh ibadah mahdzah menjadikan niat sebagai rukunnya.

Bila hal di atas ditarik ke cakupan yang lebih luas, konflik atas nama apapun, bisa kita sederhanakan dan kita selesaikan dengan setidaknya empat unsur tadi: kesetaraan, ngopi dan nyangkruk, berbalut akhlak dan niat yang lurus. Sesederhana itu sehingga bangsa ini tidak perlu bertengkar karena beda pilihan politik.

Ayo mondok.

*) Penulis adalah santri senior Pondok Pesantren Nurul Hikmah Sumber Manis, Sumenep.