New Normal untuk Siapa? PTS di Ambang Kebangkrutan

Media Jatim

Tatanan kehidupan Normal Baru atau New Normal telah sedemikian hingga digaungkan oleh pemerintah untuk menghidupkan kembali aktivitas kehidupan masyarakat, terutama di sektor perekonomian. Hal ini tentunya dengan tetap mempertimbangkan tatanan protokoler kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic COVID-19 yang telah menjadi wabah penyandera kehidupan masyarakat dan bahkan menurunkan derajad kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Tatanan normal baru ini sebenarnya menuntut seluruh lini kehidupan masyarakat memasuki pola hidup yang lebih mawas diri dan berhati-hati atas segala bentuk pola hidup yang bisa menularkan dan tertular oleh penyakit-penyakit yang berbahaya. Pola hidup tersebut tidak hanya dituntut kepada personal masyarakat yang menjalani kehidupan semata, tetapi juga infrastruktur dan segenap penyedia layanan yang ditawarkan atau bisa dinikmati oleh masyarakat.

Sasaran dari New Normal kemudian menyisir sektor ekonomi ataupun institusi, baik itu pemerintah ataupun sektor swasta yang bisa mengumpulkan massa yang banyak dalam satu waktu tertentu. Hal ini disebabkan oleh kerumunan massa akan lebih memungkinkan penyebaran virus yang lebih masif yang nantinya akan menyebabkan sumber daya yang lebih besar akan terserap untuk menyelesaikan masalah tersebut. Banyak kebijakan yang kemudian ditetapkan dalam tatanan baru tersebut yang kemudian bisa menormalkan kembali kegiatan masyarakat.

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah untuk siapa tatanan kehidupan baru ini diperuntukkan?, karena dalam hal ini yang sering kali disampaikan adalah untuk normalisasi kegiatan masyarakat. Hal yang terlupakan sampai saat ini adalah bagaimana dengan lembaga pendidikan yang juga terkena dampak penutupan kegiatannya, sebagai upaya untuk pencegahan penyebaran wabah COVID-19 tersebut. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak bisa diukur dengan standar barometer yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pemerataan kompetensi pendidikan di Indonesia masih belum bisa dilakukan, karena yang ada adalah pemerataan lembaga pendidikan Indonesia. Perbedaan lain yang perlu diidentifikasi adalah perbedaan antara lembaga pendidikan milik pemerintah dengan swasta juga akan berdampak terhadap kualitas pendidikan yang disajikannya, belum lagi letak geografis antara lembaga pendidikan.

Atas perbedaan-perbedaan tersebut, maka muncul beberapa masalah yang perlu diidentifikasi untuk meneruskan pembelajaran daring yang diantaranya kekuatan finansial antara lembaga pendidikan tidak sama, capaian kompetensi yang dipersyaratkan untuk dicapai, kelengkapan infrastruktur pendukung peserta didik, dan kehadiran negara yang masih perlu dipertanyakan.

Kekuatan Finansial antara Lembaga Pendidikan yang Tidak Sama

Lembaga pendidikan negeri selalu saja diuntungkan dalam hal ketersediaan dan keterpenuhan keuangan untuk pengembangan lembaganya pada seluruh tingkatan pendidikan, apalagi pada saat situasi sulit seperti saat ini. Lembaga pendidikan negeri selalu mengandalkan pagu yang bisa diajukan dan nantinya akan bisa disetujui sebagai sebuah anggaran belanja yang bisa digunakan untuk kebutuhan operasional dan pengembangannya.

Sementara lembaga pendidikan swasta masih bertahan pada pendapatan yang bersumber dari peserta didiknya dan subsidi yang diberikan oleh yayasan. Pada level pendidikan dasar dan menengah, mungkin saat ini, biaya operasional mungkin masih bisa ditutupi oleh bantuan biaya operasional sekolah (BOS) yang diberikan oleh pemerintah, sehingga dengan dana itu, maka sekolah swasta bisa memenuhi kebutuhan minimum operasionalnya. Padahal pada saat yang sama, sekolah-sekolah negeri juga mendapatkan dana tersebut.

Hal lain yang perlu menjadi perhatian, karena banyaknya sekolah yang dibuka oleh swasta dan diijinkan oleh pemerintah, memulai persaingan untuk mendapatkan peserta didik dengan menyajikan layanan pendidikan dengan gratis yang tentunya dengan menggunakan dana BOS yang dimilikinya sebagai sumber pendapatannya. Di lain pihak, kesejahteraan tenaga pengajarnya hanya cukup pada sertifikasi guru yang sudah didapatkannya. Hal ini menjadi masalah baru ketika saat ini terjadi pandemic dan lembaga pendidikan tidak mampu memberikan pembayaran insentif atas pengabdian gurunya, terutama yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi profesi. Hal yang terlupakan dari nilai-nilai pengabdian tenaga pendidik tersebut oleh sebagian pihak adalah mereka tidak pernah menuntut adanya kesejahteraan yang sama dengan PNS/ASN yang telah dicukupi kesejahteraannya oleh negara, karena memang tujuan awalnya adalah untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya.

Hal ini kemudian menjadi berbeda, karena saat ini sekolah telah tidak mandiri dan pemerintah ikut andil dalam hilangnya kemandirian lembaga pendidikan tersebut, karena persepsi masyarakat bahwa semuanya telah dibantu negara dan tidak selayaknya masyarakat ikut andil dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana cita-cita kehidupan berbangsa yang tertuang dalam konstitusi. Lembaga pendidikan swasta seakan-akan telah menjadi alat dalam pemerataan pendidikan, padahal yang ada hanyalah pemerataan lembaga pendidikan, namun hal ini telah cukup memenuhi harapan masyarakat untuk difasilitasi dalam mendapatkan ijazah atas jenjang pendidikan tertentu, namun belum pada taraf kompetensinya, karena Indonesia bukan hanya yang di kota-kota besarnya saja dan lembaga pendidikan bukan hanya milik pemerintah semata.

Baca Juga:  STAIFA Gelar Wisuda Perdana, Rektor: Kami Sudah Terakreditasi Baik!

Lembaga pendidikan yang lebih kompleks dalam menghadapi kondisi pandemic COVID-19 adalah perguruan tinggi yang tuntutan operasionalnya bukan hanya pada pengajaran semata, akan tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat serta kerja sama. Tuntutan standarisasi kualitas pendidikan tinggi adalah sama kepada semua lembaga, baik yang dimiliki oleh negara ataupun yang dikelola oleh masyarakat melalui yayasan-yayasan yang diberikan ijin menyelenggarakan pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar nasional pendidikan tinggi. Pemerintah seakan-akan lupa bahwa tidak semua aturan yang diterapkan di perguruan tinggi negeri bisa diterapkan di perguruan tinggi swasta.

Perguruan tinggi negeri (PTN) memiliki juga dana pembayaran dari mahasiswa yang pelunasannya dilakukan di awal semester sebelum perkuliahan dimulai, selain dana pagu yang anggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sistem dan ketaatan membayar diawal periode perkuliahan ini akan menjadikan perguruan tinggi memiliki ketersediaan dana yang cukup dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta. Selain itu, kebutuhan dana telah ditetapkan diawal dalam rangka mendukung ketercapaian standar pendidikan tinggi yang dipersyaratkan, baik itu kompetensi, layanan ataupun pengembangannya. PTN juga tidak perlu lagi memikirkan biaya operasional gaji karyawan yang telah ditanggung oleh negara.

Sementara itu perguruan tinggi swasta harus mampu menghadirkan layanan dan kompetensi yang sama dengan perguruan tinggi negeri dengan sumber pendapatan yang berbeda. Perguruan tinggi swasta (PTS) harus mampu memberikan keleluasaan pembayaran kepada mahasiswa yang menjadi pengguna jasanya, sehingga kadang kala pembayarannya diijinkan untuk diangsur dan bahkan terutang untuk beberapa semester. Hal ini juga diperparah oleh letak geografis PTS yang rata-rata berada di daerah/kota-kota kecil yang biaya perkuliahannya kadang kala masih harus lebih kecil dari kampus negeri. Jikapun biaya pendidikannya menjadi lebih mahal dari kampus negeri yang berada di kota kecil yang sama, maka minat mahasiswanya untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi tersebut menjadi lebih rendah dan imbasnya adalah jumlah mahasiswanya menjadi lebih sedikit yang juga akan berimbas kepada kemampuan PTS dalam memenuhi biaya operasional.

Pemerintah mungkin lupa bahwa PTS harus menyambung nyawa dari pendapatan pengguna jasanya. Pada saat pandemic sebagaimana saat ini, mahasiswa PTS terutama di daerah/ kota-kota kecil yang tidak tersentuh oleh akses pendidikan oleh PTN. PTS harus memenuhi seluruh kebutuhan operasional dan pengembangannya dari pembayaran mahasiswa yang tidak tepat waktu dan kadang kala juga tidak mau membayar karena tidak adanya tatap muka yang dilakukan oleh PTS. Jika hal tersebut terjadi, maka pemenuhan biaya operasional PTS tidak akan terpenuhi, karena siklus kas PTS tersebut menjadi tidak sebagaimana mestinya dan akan mengalami kesulitan likuiditas.

Capaian Kompetensi yang Dipersyaratkan untuk Dicapai

Selain dari kekuatan finansial lembaga, masalah berikutnya terkait dengan bekerja dari rumah dan penutupan lembaga pendidikan bagi PTS tentunya adalah capaian kompetensi yang seharusnya dicapai oleh mahasiswa. Standar kompetensi dan terutama perangkat pendukung pencapaiannya tidak bisa disamakan di seluruh Indonesia, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah input mahasiswa yang berbeda antara PTS dengan PTN. Kemudian yang membedakan juga adalah iklim akademik dan juga penguatan orientasi mahasiswa.

PTN selalu mendapatkan input mahasiswa yang lebih baik dibandingkan dengan PTS, namun pemerintah mungkin lupa bahwa anak-anak negeri yang tidak bisa mendapatkan akses pendidikan di PTN yang dikarenakan faktor kemampuan akademik yang kurang mumpuni harus dibina di lingkungan kampus PTS yang tidak memiliki fasilitas yang sama dengan negeri. Pola pembinaan mahasiswa dengan kemampuan lebih rendah akan membutuhkan upaya yang lebih tinggi dan hal ini tidak cukup dengan memberikan materi secara daring yang kemudian mahasiswa secara mandiri akan bisa diikuti serta melahirkan kompetensi yang sama dengan mahasiswa-mahasiswa di lingkungan PTN. Belum lagi, semangat mereka yang bisa saja mengalami disorientasi yang disebabkan oleh kurangnya motivasi yang merupakan salah satu keunggulan yang bisa dihadirkan dalam bentuk kegiatan pembelajaran tatap muka.

Hadirnya pembelajaran dengan sistem tatap muka akan lebih memudahkan PTS untuk memberikan proses pembinaan kesadaran atas hak dan kewajiban mahasiswa terhadap kampus. Apalagi bagi kampus PTS di kota-kota kecil, maka kadang kala pembayaran mahasiswa hanya bisa dilakukan ketika mereka telah menikmati layanan pendidikan sebagai sebuah pendukung kompetensi pada saat mendekati akhir semester dengan digelarnya ujian akhir semester (UAS). Hal ini mungkin yang juga dilupakan oleh pemerintah bahwa mahasiswa PTS ini memiliki keterbatasan sumber daya dan motivasi untuk menjadi lebih baik, maka jika menginginkan pemerataan pendidikan, bukan pemerataan lembaga pendidikan, negara harus hadir pada saat sulit sebagaimana kondisi pandemic saat ini.

Baca Juga:  SMK Kesehatan Nusantara Pamekasan Gelar Lepas Pisah, Kepsek Harap Lulusan Jadi Tenaga Medis Kompeten

Kelengkapan Infrastruktur Pendukung Peserta Didik

Infrastruktur yang dimiliki PTN dan PTS juga merupakan perbedaan lain yang bisa diamati, namun hal ini tidak berhenti sampai fasilitas kampus belakan, akan tetapi juga fasilitas infrastruktur yang bisa dimiliki dan bisa diakses oleh mahasiswa kedua lembaga tersebut juga berbeda. Mahasiswa PTN yang memang kebanyakan berada di pusat kota atau mahasiswanya tinggal berdekatan dengan kampus dengan kesadaran tinggi untuk menuntut ilmu di lembaga tersebut, akan senantiasa mempersiapkan diri dengan perubahan situasi sosial dan lingkungan yang menjadi tuntutan kampusnya. Di lain pihak, pemerintah lupa bahwa banyak PTS yang berada di kota-kota kecil harus bertahan untuk memberikan kesempatan yang sama agar anak-anak negeri bisa menikmati kesempatan yang sama untuk bersaing dengan anak negeri yang lain yang bisa mengakses pendidikan di PTN, minimal pada level awal yaitu tes administrasi dengan memiliki ijazah pada strata pendidikan sama yang menjadi persyaratannya.

Lebih banyak mahasiswa PTS terutama yang di kota-kota kecil atau bahkan pelosok, tidak memiliki seperangkat media pembelajaran daring atau bahkan harus menikmati jaringan internet yang tidak begitu lancar sebagaimana di kota-kota besar khususnya. Banyak mahasiswa yang harus berburu sinya WiFi hanya untuk mengerjakan atau bahkan memaksakan untuk mengikuti paksaan proses pembelajaran yang dilakukan oleh dosen pengampu mata kuliahnya. Pemaksaan itu dilakukan sebagai sebuah ketaatan atas instruksi pemerintah untuk menutup lembaga pendidikan dan mengalihkannya menjadi pembelajaran berbasis daring. Sekali lagi mungkin tidak banyak lembaga yang bisa mengeluh, karena akan sangat berpengaruh terhadap penilaian lembaga pemerintah diatasnya.

Perburuan WiFi tersebut juga akan menimbulkan kerumunan baru yang tidak bisa dipantau oleh pemerintah atau dalam hal ini gugus tugas penanganan wabah COVID-19. Pemerintah juga mungkin lupa, bagaimana dengan peserta didik yang sedang berada di pondok pesantren yang tidak diperbolehkan mengakses perangkat pembelajaran daring?, padahal mereka juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kompetensi yang ditawarkan PTSnya.

Kehadiran Negara yang Masih Perlu Dipertanyakan

Atas beberapa situasi sosial tersebut, maka perlu dipertanyakan tentang kehadiran negara dalam membantu penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi PTS. Masalah kekurangan dana yang dihadapi oleh PTS untuk membayar kegiatan operasionalnya (minimal gaji karyawan) juga tidak sama dengan respon pemerintah atas masyarakat terdampak yang dengan segera diberikan bantuan langsung tunai (BLT). Respon serupa juga ditunjukkan kepada para pengusaha dengan memberikan penjadwalan pembayaran utang kepada perbankan dan bahkan insentif pajak. Jika hal tersebut adalah alasan kemanusiaan dan ekonomi, maka masyarakat pengelola kampus juga bukan tergolong orang kaya yang mestinya juga diperhatikan oleh pemerintah dan juga secara akumulasi kapita bukanlah pengusaha yang telah memiliki cadangan yang mungkin cukup. Pemerintah mungkin lupa bahwa tidak semua kampus didirikan atas ketersediaan materi yang berlimpah dari yayasan, akan tetapi demi tercapainya cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah juga tidak mengijinkan PTS untuk melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai alasan kesehatan, padahal untuk mendapatkan dana untuk melanjutkan kegiatan operasional perguruan tingginya saja tidak ada dana talangan yang disediakan oleh pemerintah. Sementara itu pada saat yang sama muncul era tatanan normal baru untuk mall, pasar, perkantoran dengan berbagai aturan di dalamnya. Lalu apakah kampus bukan bagian dari fasilitas umum yang juga perlu dipulihkan?. Jika hal ini terus berlanjut, maka bukan mustahil, banyak PTS yang harus menghentikan operasionalnya dengan alasan tidak memiliki dana yang cukup. Pada saat yang sama mungkin juga pemerintah akan menyampaikan sudah saatnya pindah ke pembelajaran daring, padahal tidak semua daerah dan kampus siap dengan kondisi ini.

Era tatanan normal baru mestinya menjadi bagian yang tidak terpisah segala aspek kehidupan masyarakat termasuk lembaga pendidikan didalamnya yang seharusnya mampu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses edukasi mayarakat. Tatanan normal baru yang ditujukan untuk sektor tertentu hanya akan menjadi boomerang bagi sektor yang lain yang sebenarnya juga harusnya mampu menyelamatkan sektor yang lain, karena Indonesia bukan hanya yang di Jakarta atau kota besar lainnya.

Oleh: Ach. Baihaki, S.E, M.Sc, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan, Jawa Timur.