Peran media di Pilbup Sumenep, diprediksi akan stagnan. Jika ada keberpihakan, polanya akan begitu-begitu saja. Misalnya, mencapture acara menjadi kata dan gambar belaka, atau menjadi woro-woro tanpa analisa.
Semestinya, media harus mampu menyampaikan keberpihakan tersirat lewat gagasan. Mampu mempengaruhi secara diam-diam dan bukan sekedar publik tahu dan akhirnya wassalam.
“Saya baca judulnya saja, hanya bilang oh…sudah itu saja.” Ungkap senior saya yang enggan disebut namanya karena khawatir disangka oportunis.
Perang gagasan di media, lanjutnya, hanya jalin kelindan capture seremonial: satu calon sedang apa. Calon lain sedang menuju kemana. Calon A didukung siapa. Calon B gagal terima apa dan sebagainya. Diprediksi, polanya akan terus begitu.
Di samping itu, selama Pilbup, biasanya kemanpuan hiperbolik seorang pewarta, akan lebih dari hari-hari biasanya. Memang tidak sampai mengagung-agungkan. Akan tapi nyaris kentara saat menyematkan “label terbaik” seorang calon dengan kemampuan hiperboliknya.
“Kadang kalau saya baca yang begitu-begitu (hiperbola), saya jadi berpikir: apa iya semua calon sebaik ini, sehebat ini? Artinya, dari saking hiperbolanya, kadang jadi tidak percaya gitu,” tambah senior yang sering dengan lugas mengutarakan pendapat itu.
Menurutnya, beradu gagasan yang didalamnya tersirat keberpihakan, belum jamak terjadi di media, khususnya di daerah. Semua seperti terseret hiruk pikuk seremonial dan seorang pewarta cukup menyiapkan seluruh peluru hiperboliknya.
Lagi pula, dalam sejarah Pilbup Sumenep, belum ada perang gagasan besar di media. Sebagian media, seperti mengikuti ritme politik yang ada. Media seperti hadir layaknya profesi tukang foto di kawinan: foto, cetak, selesai.
“Itu mungkin perumpaan yang berlebihan ya. Tapi aku rasa tidak jauh dari itu,” tambahnya.
Senior yang juga pernah aktif dalam gerakan kepemudaan ini, menyinggung pula para tenaga ahli (media) di lingkaran masing-masing calon cabup-cawabup yang akan maju di Pilbup Sumenep.
Kemampuan mereka menginventarisir issue, fakta dan telaah progres untuk membranding calon yang didukungnya, belum tampak ke permukaan.
Misalnya saat ada dugaan pasangan Fauzi-Eva disudutkan dengan politik getah nangka terkait RUU HIP dan diduga mereka adalah calon yang profilnya diragukan, hingga saat ini tidak ada narasi penyeimbang dan atau pembanding atas itu.
Saat ada dugaan, PKB minim kader di Pilgub Sumenep dan internalnya juga masih goyah, juga belum ada “upaya pembelaan” dengan analisa elegan atas dugaan krisis itu.
Semua tenaga ahli masing-masing calon, sepertinya hanya berkutat pada meredam potensi konflik dan atau bias tafsir atas calon yang didukungnya. Tidak lebih.
Jika potensi itu bisa diredam, maka kerja tenaga ahli cukup hanya mempublikasikan dukungan demi dukungan tokoh dan golongan, serta menunjukkan kebaikan demi kebaikan si calon saja. Itu sudah lebih dari cukup.
Padahal dalam politik, sebuah dukungan bisa menjadi ancaman dan kebaikan bisa menyiratkan pencitraan. Semestinya, tenaga ahli harus bekerja lebih keras dan mau untuk keluar dari zona nyaman itu.
“Sebagian yang aku bicarakan, mungkin terkesan mengada-ada. Tapi aku rasa sebagian ada benarnya juga. Coba cek,” pungkasnya.
Gapura, 16 Juli 2020
*Nur Khalis, Jurnalis asal Desa Gapura Tengah, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.