Opini  

Sikut Menyikut PMII-HMI Menuju Muktamar PBNU ke-34, Buat Apa?

Media Jatim

Oleh: Kholisin Susanto*

Kembali diingatkan, tulisan ini bukan membandingkan pendapat sesepuh NU yang telah jadi ‘alim ulama, atau guru besar yang punya banyak pengikut dan barisan. Mungkin tulisan ini hanya refleksi keresahan sebagai anak muda yang masih mencintai ulama termasuk NU, jika dikaitkan karena saya kader HMI mungkin ini hanya kebetulan.

Menuju Muktamar pengurus besar Nahdlatul ulama (PBNU) ke-34 pada Desember 2021 mendatang telah banyak dinamika internal dan eksternal didalamnya, apalagi timbul dikait-kaitkannya antara kader HMI dan PMII, siapa yang pantas memimpin PBNU kedepannya.

Belum lagi adanya pemaksaan kehendak, bernuansa menjajah kemerdekaan berfikir seperti ditandai dengan adanya beberapa tulisan tentang HMI dan PMII menuju PBNU, seperti adanya klaim PMII Anak Ideologis NU,’ pengkaderan PMII yang mengadopsi cara-cara NU, belum lagi ‘Untuk Apa Dirikan PMII jika NU dipimpin oleh HMI? Hal itu dikatakan oleh Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim, MA,’.

Apalagi dengan cuitan tentang HMI dekat dengan Masyumi, HMI dekat dengan Muhammadiyah, jadi jika pun ada barisan HMI di PBNU, itu hanya sebagian kecil, dan lain-lainnya. Pada kesimpulannya ada kesan tak langsung, seolah tak pantas si HMI memimpin PBNU.

Pada esensinya dapat dipahami, semua tulisan itu tendensius seolah hanya kader PMII yang punya domain dan legalitas memimpin PBNU.

Terlepas dari keinginan lakukan promosi kader lewat muktamar PBNU atau ingin marwah PMII tetap berada diatas awan misalnya, namun dalam promosi kader sekalipun tentu ada etika perlu dikedepankan, tak perlu saling sikut-menyikutan yang hanya menggores hati para pencinta Nahdlatul Ulama yang tak ingin NU pecah hanya soal pemilihan ketua umum.

Mungkin para kader PMII sekalipun perlu meluruskan pendapat Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA tentang untuk apa mendirikan PMII jika Ketua Umum PBNU kader HMI? Seolah pendapat itu menginginkan PMII didirikan untuk merebut kekuasaan NU? Boleh jika profesor prihatin, jika PMII nantinya tak diminati seperti yang dilansir dalam bangsaonline.com. Prihatin boleh tapi keterlaluan jangan.

Apa hanya tidak terpilihnya nanti kader PMII sekalipun di muktamar PBNU lantas membuat PMII tak lagi diminati? Jika ada anggapan demikian maka seperti hilang tanpa makna dan senyap dalam sepi lah semua perjuangan para pengurus PMII yang habis-habisan tenaga, pikiran dan finansial untuk terus berikhtiar merekrut kader dan menjaga PMII, namun dianggap tak lagi diminati gara-gara PBNU tak dipimpin PMII.

Baca Juga:  Demo Dituding Tak Beretika, Ini Tanggapan Kader PMII IAIN Madura

Kader PMII juga harus meluruskan pendapat Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA,’ seperti yang dilansir oleh bangsaonline.com, karena meskipun beliau seorang profesor namun ingatlah profesor bahkan ulama besar sekalipun juga manusia, yang sudah pasti bisa salah dan khilaf yang bisa diingatkan bahkan diluruskan. Seperti sebuah nasihat dari K.H. Musthofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus “Malaikat tak pernah salah. Setan tak pernah benar. Manusia bisa benar, bisa salah. Maka kita dianjurkan saling mengingatkan, bukan saling menyalahkan.” Pada intinya perlu di ingat, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin adalah manusia, tentu bisa salah dan benar.

Soal dinamika di NU menjelang muktamar ini, ada nasihat ataupun pendapat dari Alm KH Hasyim Asy’ari sang pendiri NU, seperti perkataan beliau yang berbunyi ‘Hubbul Wathon Minal Iman’ cinta terhadap negara sebagian dari iman.

Jika kita kaitkan, apa kita termasuk cinta negara jika kita tak bisa hidup rukun dan toleran meski berada dalam perbedaan? (salah satunya antara HMI dan PMII), atau apa kita termasuk cinta negara jika masih ingin masuk dalam perpecahan, cara-cara kita selalu mengoptimalisasikan perpecahan. Padahal negara yang berfalsafah pancasila dan berlambang burung garuda ini juga menekankan arti bhineka tunggal ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

Mungkin walaupun bukan PMII (misalnya) selama kader NU, cinta NU, dan punya visi membesarkan NU, maka ada keberhakan memimpin PBNU, termasuk jika kebetulan ia adalah kader HMI.

Beranjak dari usia PBNU yang sudah 95 tahun ini, 19 tahun lebih tua dari pada kemerdekaan Indonesia, sudah seharusnya para kader dan pecinta NU menjaga dan merawat NU ini dan menekankan bahwa NU adalah milik umat dan bangsa yang berlandaskan Islam dengan pemahaman ahlussunah wal jama’ah.

NU harus kembali pada khittah perjuangan dan cita dari pendiri NU itu sendiri, bukan malah disibukkan persoalan kelayakan memimpin NU antara HMI dan PMII. Semua calon kandidat diklaim, jika bukan PMII pasti ke-NUannya diragukan lagi.

Sebenarnya, apakah masalah jika bukan PMII yang memimpin NU, atau jika HMI yang memimpin NU? atau jikapun kader PMII yang memimpin NU, mungkin itulah yang terbaik dan yang diinginkan oleh kader dan para nahdiyin.

NU harus fokus pada khittah perjuangannya, seperti kata Sahal Mahfudz dalam bukunya Pendidikan Islam, Demokrasi, dan Masyarakat Madani menyatakan bahwa NU ibarat sebuah pesantren besar dan pondok-pondok pesantren adalah NU versi kecil. Artinya, pemikiran NU adalah manifestasi dari pusparagam pemikiran di pesantren-pesantren. Inilah yang harus titik fokuskan oleh para kader NU, bagaimana menjaga NU agar terlepas dari pemahaman menyimpang dari Syi’ah misalnya, yang dimulai menjaga dan merawat pesantren NU agar tetap menjaga keaswaja’annya.

Baca Juga:  Menolak Doa

Masih tentang HMI dan PMII, jika KH. Imam Jazuli, Lc. MA, bisa berpendapat dalam tulisannya berjudul ‘Rivalitas HMI versus PMII: Perebutan Kursi Ketum PBNU di Muktamar NU Ke-34’ pada alinea terakhir mengatakan Inilah arti penting mengapa kader terbaik PMII harus menjadi Ketum PBNU. Kecuali Jika keluarga besar PMII sudah mengikhlaskan PBNU di pimpin kader HMI! Wallahu a’lam bis shawab.

Namun kitapun bisa berpendapat, selain Kader PMII, kader HMI pun punya peluang dan keberhakannya menjadi ketum PB NU. Intinya, HMI dan PMII keduanya harus ikhlas jikapun kader HMI ataupun PMII yang mengisi jabatan ketua umum PB NU kedepannya.

Lantas NU milik siapa? PMII kah atau HMI kah?

Merujuk pada pendapat Ahmad Basarah seorang anggota MPR RI, Nahdlatul Ulama tidak boleh dikapling-kapling. Juga tidak boleh diakui dan miliki orang atau kelompok politik tertentu. Menurutnya, Nahdlatul Ulama adalah milik bangsa. Bukan milik orang atau kelompok politik tertentu. (Ahmad Basarah: NU Adalah Milik Bangsa Indonesia, www.nu.or.id).

Siapapun memimpin NU, PMII kah, HMI kah, yang terpenting tetap berada pada rel perjuangan NU, sesuai dengan tujuan berlakunya ajaran Islam yang menganut paham aswaja untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta alam.

Untuk sahabat PMII, dan kakanda HMI, siapapun memimpin PBNU, yang terpenting selalu bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Tak perlu galau, soal muktamar pengurus besar Nahdlatul Ulama, lakukan proses baik dan bijaksana sebagai bentuk ikhtiar, dan biarkan ketentuan berjalan sebagai bentuk takdir serta wujud dari kemerdekaan dan keharusan universal (ikhtiar dan takdir).

Ingat, PMII dan HMI adalah dua sejoli yang saling mencintai, bahkan jika kita buka historis, bahkan Mahbub Djunaidi, pendiri PMII adalah salah seorang kader utama di lingkaran pucuk pimpinan nasional HMI terdahulu.

PMII adalah sahabat HMI.

Dan jikapun diikhlaskan, maka HMI pun adalah kakanda dari PMII.

*) Penulis adalah kader Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Pamekasan.