MEDIAJATIM.COM | Surabaya – Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur, Aliyadi Mustofa, menargetkan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pemberdayaan Usaha Desa Wisata rampung tahun ini. Target itu didasari seiring semakin meningkatnya jumlah desa wisata di Jawa Timur.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini mengatakan, usulan Raperda Pemberdayaan Desa Wista sudah masuk sejak tahun 2020 lalu.
Sejak awal diusulkan, pihaknya sudah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat finalisasi regulasi yang akan menjadi payung hukum pemberdayaan potensi desa itu.
Dimana lanjut Aliyadi, sejumlah desa di kabupaten/kota di Jawa Timur sudah berlomba-lomba mengembangkan potensi yang dimiliki dengan konsep desa wisata.
“Harapannya raperda ini dapat rampung tahun ini. Sekarang tinggal Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) mengagendakan untuk mematangkan dengan beberapa pihak termasuk pembahasan di komisi dan bagian hukum,” jelas Aliyadi Mustofa usai rapat paripurna, Senin (8/11/2021).
Pemilik suara tertinggi pada Pemilu 2019 ini mengungkapkan, penekanan dari Raperda Pemberdayaan Desa Wisata ini nantinya mengarah terhadap optimalisasi perhatian pada potensi desa wisata.
Menurutnya, sudah ada ratusan desa wisata di Jatim yang memiliki potensi dan dikembangkan oleh desa. Bahkan, jumlah desa yang mengembangkan potensi desanya dengan konsep wisata terus menerus bertambah.
Oleh karenanya lanjut Aliyadi, Pemprov Jatim harus segera memberikan peraturan daerah sebagai pegangan dan payung hukum pengembangan potensi desa melalui konsep desa wisata tersebut.
“Hal ini penting, dengan raperda ini pengembangan potensi desa bisa semakin maksimal,” katanya.
Sementara itu, juru bicara Komisi B DPRD Jatim Noer Soetjipto mengatakan, dalam raperda ini, terdapat upaya pemberdayaan, dan perlindungan secara sistemik yang bertujuan meningkatkan kemakmuran masyarakat, sekaligus meminimalisir konflik kepentingan permodalan.
Pihaknya sangat berharap, melalui raperda tersebut, pendapatan asli daerah (PAD), baik untuk pemerintah kabupaten dan kota, pemerintah provinsi, hingga pemerintah desa di Jatim dapat ditingkatkan.
Dirinya menjelaskan, dalam Raperda Pemberdayaan Usaha Desa Wisata, terdapat frasa kata usaha sebagai kata kunci, sesuai tupoksi Komisi B DPRD Jatim yang membidangi perekonomian.
“Frasa kata usaha lanjut dia, juga menjadi ciri khas sekaligus definisi integral kewisataan. Karena tidak ada lokasi kunjungan wisata tanpa disertai bisnis usaha akomodasi, dan promosi usaha,” jelasnya.
Pihaknya menyampaikan, dasar filosofi dan sosiologis pembentukan raperda ini, dimaksudkan sebagai upaya memenuhi hak masyarakat di Jatim untuk berusaha dengan memanfaatkan alam, dan tradisi budaya, serta memperoleh lingkungan hidup yang layak, nyaman dan aman.
Kata dia, banyak regulasi telah mengamanatkan kewisataan yang baik dan bersifat konservatif (perlindungan lanskap, dan pelestarian budaya). Beberapa regulasi juga mengamanatkan pembentukan peraturan daerah yang senafas. Diantaranya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menerangkan bahwa pemerintah provinsi berwenang dalam pengelolaan kepariwisataan.
“Serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, paragraf ke-13,” jelasnya.
Di samping itu, secara sosiologis karakteristik dan strategi penyusunan raperda ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan positif pemanfaatan lingkungan lokal. Tinjauan sosiologis mengacu pada aspek yang berkaitan dengan pola interaksi masyarakat dengan lingkungan hidup, khususnya lanskap, dan atraksi budaya.
Kemudian, terdapat pula suatu pola interaksi yang menyatukan simbiose mutualisme kultural berdasar kebutuhan ekonomi dan ekologi. Perspektif sosiologis diperlukan untuk memahami kearifan lokal yang dapat digunakan untuk meyelesaikan berbagai problem lingkungan hidup yang dihadapi masyarakat.
Sementara itu, pada sisi paradigma sosial, pemberdayaan usaha desa wisata di Jawa Timur menghadapi permasalahan. Yakni sebagian besar potensi desa wisata berada di area konservasi milik Perhutani, dan perairan di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sehingga pemanfaatannya diperlukan kerjasama, dan perizinan khusus.
“Pengelolaan potensi desa wisata masih sering menimbulkan sengketa berkait dengan pembagian keuntungan. Banyak institusi berbadan hukum, terutama industri, dan kalangan usaha termasuk BUMN, menjadikan desa wisata tanpa berkoordinasi dengan pemangku desa setempat,” ungkapnya.
Noer Soetjipto menerangkan, kenyataan sosial yang saat ini sering dijumpai, bahwa masyarakat desa sering kalah bersaing dengan pemodal besar dari luar wilayah. Sedangkan realita ekologis, bahwa aspek desa wisata kurang memperhatikan ancaman bencana yang bisa berdampak ancaman keselamatan jiwa pengunjung.
Berbagai problematika tersebut menjadi tantangan Pemerintahan Provinsi Jatim, termasuk di dalamnya tanggungjawab DPRD Provinsi Jatim. Oleh karenanya, Raperda tentang Pemberdayaan Usaha Desa Wisata, nantinya diharapkan dapat menjadi arahan dalam pengaturan urusan pemanfaatan keelokan desa dan pelestarian budaya tradisional, sekaligus urusan pengendalian lingkungan hidup.
“Melalui raperda ini juga diharapkan dapat mendorong Pemprov Jatim lebih proaktif memberdayakan ragam ekonomi kreatif melalui usaha desa wisata,” pungkasnya. (*)