Opini  

Melawan Raperda Reforma Agraria DPRD Sumenep

Media Jatim

: Sebuah Pengantar

Tanggal 1 Juli 2022 lalu, DPRD mengaku telah merampungkan subtansi Naskah Akademik (NA) Raperda Reforma Agraria bersama Universitas Brawijaya. Dan sejak tanggal 14 Agustus kemarin, Focus Group Discussion (FGD) raperda itu pertama kali digelar.

Tim perumus dari Universitas Brawijaya, secara panjang lebar menjelaskan isi draf awal reforma agraria ini. Ada beberapa anggota dewan menjadi peserta, dan sebagian diantaranya seakan-akan sedang menyimaknya.

Karena diberi kesempatan untuk menyaksikan momen langka ini, saat itu, saya menjadi orang yang paling pendiam. Tak ada wacana bagus yang saya rasa layak diledak-dengarkan pada seisi ruangan. Untuk menghilangkan kejenuhan, saya sesekali memperhatikan satu persatu raut wajah kawan-kawan anggota dewan.

Sepertinya, diantara mereka, ada yang berusaha menyembunyikan kebingungan dan ketidakpahaman. Ada pula yang sibuk mengurus rasa sakit di badan dan terkesan abai dengan pembahasan. Namun demikian, saya membuat sejumlah pemakluman.

Misalnya, karena ini adalah FGD pertama, wajar jika kawan DPRD yang menyampaikan pandangan hanya itu-itu saja. Diantara mereka, memang tidak banyak yang mampu berdialektika.

Baca Juga:  Telepon dari Guru dan Debat Publik yang Tak Begitu Berguna

Saat waktu jeda, dengan nada santun dan berkesan, seorang kawan DPRD membuat serangkaian pujian atas usulan raperda ini. Diantaranya, mereka akan melaksanakan FGD raperda ini berjilid-jilid agar seluruh ragam pandangan bisa dipertimbangkan.

Sambil menikmati makan siang, saya iyakan seluruh pernyataan darinya. Dan dalam waktu yang bersamaan, pikiran saya menduga, jangan-jangan perda lain yang sudah disahkan, dilahirkan dengan cara seremonial belaka. Buktinya, FGD ini begitu dipujinya (?)

Sepintas, ada beberapa penafsiran sumir dalam raperda yang diklaim akan “meledak-bommah” ini. Selain untuk menjawab problem agraria yang ada, lewat perda ini, diharapkan konsep keadilan sosial dalam kontruksi agraria tercipta. Namun demikian, saya tak langsung percaya.

Bahkan, setelah FGD pertama digelar, kecamuk pertanyaan dan sanggahan atas raperda ini, terus menerus mendera. Hanya saja, karena saya tak pandai bercakap, maka, saya menyimpulkan bahwa rencana pembuatan raperda ini harus berani kita lawan.

Ada 4 alasan mendasar kenapa raperda ini harus diperdebatkan. Pun bahkan dalam bahasa saya, harus dilawan! Satu persatu alasan itu akan saya jabarkan di catatan selanjutnya.

Baca Juga:  Akibat Badai, Pulau Masalembu Sumenep Krisis Pangan: Warga Makan Singkong

Sekedar gambaran saja. Dari konstruksi draf raperda yang ada, saya tidak merasakan urgensitas raperda ini harus dicipta. Korelasi problem dan ketentuan yang tercatat dalam draf raperda, masih berada di jalan yang berbeda. Jauh tak terhingga.

Sepintas, draf raperda yang ada hanyalah serangkaian instrumen kekuasaan yang membuat kita semakin bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya cara negara hadir untuk “mengatur” rakyatnya?

Karenanya, catatan pengantar ini akan saya jadikan alat perjuangan untuk melawan. Semoga catatan-catatan selanjutnya bisa bernafas panjang. Saya akan berusaha membuktikan, bahwa draf raperda ini masih jauh dari harapan.

Di catatan kedua, rencananya, saya akan memulainya dengan sebuah kutipan dari kawan DPRD yang hadir dan ikut berdialektika. Dalam pandangannya, draf raperda ini masih banyak ragam ketentuan yang harus dijelaskan.

“Jangan sampai, raperda reforma agraria ini menjadi masalah baru. Terutama di tengah kecamuk-runyamnya problem agraria hari ini, yang setiap pelanggarannya, masih disikapi abu-abu oleh pemerintah Sumenep, misalnya.” sekian pengantar.

Nur Khalis, Jurnalis Sumenep

Sumenep, 16 Agustus 2022