Saya punya cerita buat kalian, hai, para santri.
Cerita ini saya dengar langsung dari orang yang saya ceritakan, hanya sebagian kecil yang saya dapatkan dari sumber lain, itupun bonafid, dapat dipercaya. Saya berani menceritakannya sekarang karena beliau sudah tiada, sudah tidak butuh lagi pada sanjungan dan tepuk tangan.
Orang itu adalah Kiai Habibullah Rais. Banyak teladan yang dapat dipetik dari laku kesehariannya. Salah satunya—jika bukan yang utama—adalah prinsip beliau dalam hal mengormati kiai/guru dan semua keturunannya. Perihal ini sudah tersiar dari mulut banyak orang. Ternyata, prinsip tersebut bukanlah isapan jempol, tetapi benar-benar diamalkannya. Saya percaya karena saya sudah pernah membuktikannya.
Suatu pagi, Jumat, 4 April 2003, saya sowan ke Al-Is’af (artinya ambulans; mungkin maksudnya supaya mirip kendaraan darurat bagi yang ingin mengobati kebodohan) di Kalabaan, pondok pesantren asuhannya. Letaknya tidak jauh dari rumah saya, sekitar 2 kilometer dengan rute memutar atau 1 km jika ditarik lurus. Ketika itu, di ruangan memanjang yang dipenuhi kitab-kitab, tampak banyak sekali tamu. Memang, hari Jumat biasanya banyak tamu karena umumnya mereka sowan sekaligus menyambangi anaknya yang mondok. Saya menyamar di antara mereka. Berhasil, Kiai tidak mengenali saya.
Setelah disuguhi minuman, tamu-tamu itu menyeruputnya. Lantas, Kiai menanyakan satu per satu maksud dan keperluan mereka, juga alamat asal jika kebetulan beliau tidak kenal: ada yang menjawab ‘hanya’ silaturrahmi, ada yang mau mengundang Kiai untuk sebuah acara, macam-macamlah. Giliran saya, ditanyakanlah dari mana asalnya.
Saya pun menjawab diplomatis, “Sebelah baratnya Pak Klebun (kades),” dengan maksud agar identitas saya tetap tersamar.
“Dekat Sumber Daleman?” Ternyata, beliau mencecar pertanyaan.
“Mmm.. di sebelah baratnya lagi,” jawab saya mulai terpojok.
“Bajarin?”
Lah, kini saya sudah tidak bisa mengelak. Ibarat kata, beliau sudah nyebut kordinat!
“Enggih.”
“Anda itu kompoy (cucu) Kiai Mahfudh?” Pertanyaan ini bagai memindai barcode, presisi!
Barulah saya diam, mengiyakan dengan senyuman.
“Duh,” lanjut beliau, “Tak langkong, saporana bisaos keng polana tak oning, Ra.” (oh, maaf, sungguh saya tidak tahu, Ra)
DEG!!
Serasa diri ini mendadak jadi meneken, kaku tak bergerak bagai kena jurus totok saraf-saraf motorik. Sebutan ‘Ra’ dalam ucapan beliau itu bukan nama saya sebab nama saya bukanlah Mujahra ataupun Aurora. Itu panggilan ‘kesayangan’ untuk anak guru. Tentu saja saya ‘protes’ kepada beliau karena status saya lebih pas jika dipanggil ‘Cu’ (kependekan dari “cucu”, sebab nama saya juga bukan Pangcu). Tetapi, Kiai menolak. Ia memberika semacam klarifikasi, tetapi kepada para tamu. Pandangan beliau menyapu mereka, tidak lagi menatap saya.
“Ikatan kekerabatan nasab itu lebih mudah ditelusuri karena banyak orang yang mencatat. Sementara silsilah keilmuan, kepada siapa kita berguru, akan mudah terlupa kalau bukan kita sendiri yang mengingatnya.” Kira-kira, demikianlah inti ujaran beliau, sebagai hujah kepada saya sekaligus sebagai petuah untuk para tamu.
***
Tentang sifat tawaduk tersebut, menurut Widad (cucu sekaligus pendamping yang sering menyetiri kendaraannya), sering ia lihat sendiri. “Mbah itu (maksudnya: Kiai Habib) kalau mau sowan ke kiai (pengasuh pondok Luk-Guluk), mulai dari selep Pak Durahman sudah turun, berjalan kaki ke arah selatan. Hal itu nyaris setiap bulan ia lakukan sewaktu sehat. Bahkan, terahkir ketika beliau sudah sepuh dan bertongkat, ia tetap berjalanan kaki dari sana. Katanya, cangkolang kalau naik mobil di sekitar kediaman kiai,” imbuhnya saat mengisahkannya kepada saya. Bukan cuma di Guluk-Guluk, hal yang sama beliau juga lakukan ketika beliau sowan ke Sidogiri (karena beliau juga sempat belajar di sana dan juga di Mambaul Ulum, Bata-Bata).
Itulah salah satu kisah penting terkait tawaduk dan takzim terhadap guru berikut anak keturunannya, suatu hal yang mulai jarang dimiliki santri zaman sekarang. Oh, ya. Di samping dikenal sebagai pengasuh, Kiai Habibullah ini juga aktif di NU dan juga berpolitik. Kok masih sibuk di partai? Jika begitu pertanyaannya, maka jawaban beliau adalah; ikut kiai, ikut partai yang diikuti kiai. Sudah sibuk begitu, masih sempat pula beliau menyusun karya-karya tulis (kitab), antara lain:
1. Tarbiyah al-Shibyān (pelajaran akhlaq; ditulis dalam bentuk nazam dalam dua bahasa: Arab & Madura);
2. Fath al-Jannah wa Washiyyat al-Azwāj (tentang kutamaan ilmu, berbuat baik kepada orangtua, keluarga, hbungan sosial,
3. Umm al-‘Ibādah (prosa, Basa Madura, berisi panduan melaksanakan shalat)
4. Dalīl al-Nisā’ (prosa, Madura & Arab, berisi penjelasan berbagai macam darah, haid, nifas, istihadhah, serta cara besucinya)
5. Hidayatu al-Tawshīt Bayna al-Ta’aththu Wa AtTafrīth (Madura, berisi panduan ber-thaharah [bersuci] lewat jalan tengah/moderat)
6. Idhāhu Ba‘dhi al-Mubhamāt Fi Ba’dhi alMushthalāhāt (nazam, panduan singkat mengenai metode pengambilan pendapat yang valid dan mu’tamad dalam bermadzhab, dll)
serta beberapa karya yang lain, termasuk terjemahan Basa Madura untuk kitab ‘Imrīthī dan Alfiyah ibn Mālik. Ada juga kitab yang—ketika itu—hanya dikaji secara terbatas di pondok Al-Is’af, yaitu Minhāj al-Irsyād.
Di kesempatan Jumat pagi tersebut, beliau sempat ‘curhat’ akan beberapa hal yang menurutnya telah disalahpahami oleh masyarakat, sehingga muncul kesan seolah-olah beliau menolak sains dan humaniora. Kata beliau, sepertinya memang ada kelompok yang ingin membenturkan antar-pondok pesantren karena mereka tidak menyukai kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan kita.
Meskipun begitu, beliau mengaku bahwa di masa muda dulu, termasuk santri yang ‘nakal’ (dalam Basa Madura, nakal = ‘tidak rajin belajar’). Bahkan, beliau pernah dihukum oleh Kiai Ashiem Ilyas, salah satu putra guru sekaligus juga gurunya, karena tidak mampu menghafal nazaman. Dan karena beliau terlalu sering tidak hafal, ganjarannya tidak tanggung-tanggung: beliau dibawa keliling halaman masjid jamik dengan kepada diikat pakai tambang. Kiai Ashiem-lah yang menghelanya
Pada suatu hari, setelah keduanya sama-sama sepuh dan tak sengaja bertemu di sebuah acara, ingatlah Kiai Habib pada peristiwa memalukan itu. Dalam penuturannya kepada saya, beliau mengatakan bahwa ia menyampaikan kisah masa lalu tersebut kepada Kiai Ashiem dan beliau tersenyum lalu berkata. “Seandainya santri-santri sekarang tahu bahwa engkau yang kini sudah punya banyak karya dan mengasuh pesantren, dulu pernah kuperlakukan seperti itu, niscaya mereka akan datang berduyun-duyun kepadaku dan meminta diperlakukan sama denganmu seperti waktu dulu itu….”
***
Demikianlah, Rekan-rekan santri. Saya ceritakan ini kembali kepada kalian supaya kita semua dapat mengambil hikmah. Sebab, saya tahu, di antara kalian masih banyak yang meyakini bahwa ilmu itu hanya dapat diperoleh dengan cara membaca dan menulis, menyimak dan menghafal. Tidak, kawan, tapi lebih dari itu. Jika cara berpikir kalian kronologis seperti itu, maka hasilnya, ya, akan seperti itu. Tapi jika kalian yakin bahwa ilmu itu mungkin ‘dituang’ begitu saja melampaui yang kamu baca dan yang kamu dengar, maka insya Allah kalian juga akan mendapatkan lebih dari yang kalian kira. Tentu saja, untuk seperti itu tidak mudah, masih ada syarat tambahan: yang begitu itu hanya diberikan kepada mereka yang saleh, yang menghormati ilmu dengan berbagai caranya, yang salah satunya adalah bersifat tawaduk, terutama terhadap para guru.
——————————————-
Foto milik © Muhammad al-Faiz
Koleksi KH. Amir Ilyas, Guluk-Guluk
Keterangan: foto kenang-kenangan para guru Madrasah Annuqayah (sewaktu masih menggunakan nama “As-Syafiiyah”, 27 Desember 1953). Dari kanan ke kiri (berdasarkan tulisan di foto: Muhammad Fauzi, Habibullah, Hasan Bashri, Mahfudh Husaini, Muhammad Jauzi, Muhammad Syakir Siraj, Abdul Jamik.
M Faizi, Kiai Annuqayah dan Penyair Internasional.
Teks dan foto diambil dari facebook K M Faizi tanpa seizinnya.