Memilih pemimpin itu bukan soal siapa yang seharusnya lebih dulu, siapa kemudian. Lantaran, siapa lahir lebih dulu, siapa merasakan menghirup udara kemudian. Lalu, siapa yang labih sepuh berhak mendapatkan jatah kursi sebagai pemimpin, baru kemudian dilanjutkan oleh yang lebih muda, tentu ketika umurnya sudah sepuh pula.
Laiknya tradisi kerajaan. Untuk menjadi pemimpin, umur mendapatkan porsi lebih besar dari pada kemampuan. Anak tertua (putra mahkota) punya peluang besar meneruskan estafeta sebagai raja. Apakah yang lebih tua mampu atau sebaliknya, itu soal belakangan. Yang paling penting, tradisi itu harus terus menerus dipelihara dengan baik. Persetan dengan rakyat; mau miskin, busung lapar, dan gelandangan.
Hari ini, yang demikian, sebenarnya aneh. Anehnya, pemikiran semacam itu tumbuh di saat kondisi sudah jauh berubah. Dimana, alasan utama memilih pemimpin adalah kemampuan. Kemampuan menjadi pelayan yang baik, mengemban amanah yang dipercayakan masyarakat melalui pemilihan langsung. Bukan berbagi kesempatan melalui antrian usia.
Nah, bicara kemampuan ukurannya bukan soal umur, namun seberapa bisa berbuat untuk memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Mengutip istilah yang dipopulerkan Dahlan Iskan, “Kerja, kerja, kerja”. Cara-cara seperti turun langsung, melihat dan mendengar sendiri masalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat, menghargai keberadaan orang lain dengan dialog, tentu, pemimpin yang membumi seperti inilah yang diharapkan keberadaannya.
Pemimpin memang harus dekat dengan masyarakat, tidak boleh ada jarak. Dengan begitu, selain mengetahui kondisi di lapangan (identifikasi masalah-masalah), masyarakat bisa menilai kemampuan melalui tatap muka langsung; visinya, serta ketertarikannya untuk memikul tanggung jawab setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Model pemimpin seperti inilah (riil pemimpin) sebenarnya yang berani mengambil tanggung jawab lebih.
Tanggung jawab yang memiliki keterikatan emosional antara seorang pemimpin dengan masyarakat. Disini, masyarakat tidak hanya diekploitasi suaranya untuk kepentingan di lumbung saja, lebih dari itu, diberdayakan, diangkat derajatnya sebagai “tuan” yang harus dilayani kepentingannya dengan sangat baik. Inilah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Bukan bekal usia.
Paham kan, sayang?
Minhaji Ahmad, Abdi Dhalem PCNU Pamekasan.