Judul Buku : Nalar Kritis Epistemologi Islam
Penulis : Dr. Aksin Wijaya, MA.
Penerbit : Kalimedia Yogyakarta
Cetakan : 1, 2017
Tebal Buku : xx+271 hal.
Peresensi : Ach. Khalilurrahman*)
Kalau ada yang bertanya dengan sebab apakah kemajuan dan kemunduran peradaban bisa diperoleh? Jawabannya hanya satu: kritik. Kritik menjadi syarat penting untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kejayaan peradaban Islam sebagaimana terukir dalam lintasan emas sejarah terjadi sebab kekritisan kaum muslim, utamanya para pemikir dan ulama, dalam menyikapi keadaan dan pemikiran yang sedang berkembang. Tanpa kritik, yang kita peroleh hanyalah stagnansi, atau dengan kata lain laa yamutu wa laa yahya.
Bukti kekritisan mereka sangat tampak dalam karya-karya tulisnya. Bila tidak percaya, lihat saja karya Ibnu Rusyd seperti al-Dharuri fi al-Siyasah, Jawami ma Bada al-Thabiah, dan Talkhish al-Burhan. Kitab-kitab tersebut berisi tentang betapa tajamnya pria Andalusia ini mengkritik dan mengomentari pandangan filsafat politik filsuf kenamaan, Plato. Dalam mengulas pemikiran sang filsuf, Ibnu Rusyd memakai tiga metode yaitu memberi basis epistemologi burhani, pengalihan wacana politik dialektis-retoris menuju yang burhani-ilmiah, serta yang tak kalah penting adalah pribumisasi filsafat politik plato ke dalam realitas masyarakat Andalusia.
Dari hasil pengamatan dan pergolakan pemikiran Ibnu Rusyd, muncullah beberapa kritik dan komentar demi menyanggah pandangan filsafat politik Plato. Salah satunya adalah konsep mengenai Negara utama. Yang dimaksud dengan Negara utama atau aristokrasi adalah negara yang memenuhi syarat-syarat keutamaan akhlaqi: seperti kebijaksanaan, keberanian, rasa malu berbuat jahat, dan keadilan (hal. 120). Plato beranggapan bahwa negara jenis ini hanyalah ada di dunia ide, mustahil terwujud ke dalam realita. Lalu Ibnu Rusyd menyanggahnya dengan mencontohkan negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad dan dilanjutkan oleh khulafa al-rasyidin.
Selain Plato, Ibnu Rusyd juga tercatat mengomentari teori ushul fikih Imam al-Ghazali. Cendekoawan yang beken dengan nama Averrous ini berpandangan bahwa teori yang diajukan sang Hujjatul Islam masih diliputi dengan sesuatu yang tidak dharuri (niscaya). Menurut Ibnu Rusyd, yang merupakan bagian inti ushul fiqih hanya dalil-dalil yang digunakan dalam melakukan istimbat hokum dari sumber asal , serta cara menggunakannya (ha. 141). Maka melalui karyanya al-Dharuri fi Ushul Fiqh, kitab komentar terhadap al-Mustashfa karya al-Ghazali, ia sengaja mengenyampingkan bagian yang dianggap tidak dharuri itu.
Bicara soal kritis, Amin al-Khuli pernah menyatakan bahwa awal pembaharuan adalah membunuh (mengkritik) pemikiran yang berkembang sebelumnya. Terbukti, Islam pada masa dahulu sempat menapaki puncak kejayaannya dalam segala bidang. Bukan hanya itu saja, sikap kritis juga dapat mengantarkan pemiliknya menuju kebenaran. Hal ini pernah dialami sendiri oleh Imam al-Ghazali dalam salahsatu fragmen hidupnya. Sebelum memutuskan untuk menjadi ahli tasawuf, terlebih dahulu ia sudah menyelami pemahaman kelompok mutakallim, filasafat, dan talimiyah-bathiniyah.
Tak hanya secara lisan, kritik itu juga disampaikan melalui beberapa karya tulisnya. Yang cukup populer adalah Tahafut al-Falasifah, al-Munqidl min al-Dhalal, dan yang lain. Proses pencarian kebenaran itu lalu ia abadikan dalam karyanya Mizan Amal dengan sebuah ungkapan yang indah dan menggelitik. Keraguanlah yang dapat menyampaikan pada kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang tidak bernalar, dia sama sekali tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.(hal. xi)
Kisah sikap kritis ilmuwan muslim tempo dulu itu bisa anda baca dalam karya terbaru Aksin Wijaya. Buku berjudul Nalar Kritis Epistemologi Islam ini merupakan upaya menghadirkan karya-karya kritis para pemikir muslim itu dimaksudkan untuk memberikan nuansa baru dalam jagad pemikiiran Islam di Indonesia. Tentu saja, buku terbitan Kalimedia ini tak hanya menghadirkan pemikiran cendikiawan muslim mainstream macam al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Thaha Husein dan Muhammad Abid al-Jabiri yang sering dicap pendosa oleh golongan Islam Kanan juga tak lupa disertakan di dalamnya.
Selain itu, pelajaran lain yang dapat kita petik dari buku setebal 271 halaman ini adalah tentang bagaimana etika mengkritik yang benar. Terus terang, meskipun zaman sudah canggih seperti sekarang banyak masyarakat yang tidak (mau) tahu soal tatacara menanggapi pemikiran yang berseberangan dengannya. Akibat dari hal tersebut, banyak kritik dan sumpah serapah dalam berbagai bentuknya bertebaran dimana-mana. Padahal andai mereka cerdas, tuliskan saja kritik itu dalam bentuk buku. Selain pendapat tersampaikan, kita juga mendapat uang royalty atas karya tersebut.
Membaca karya Aksin Wijaya ini juga dapat menjadi cambuk bagi para penulis yang masih ogah berkarya dengan seribu satu alasan. Dengan kapasitasnya yang seorang dosen dan kesibukan informal lain, pria asal Madura yang kini menetap di Ponorogo ini masih sempat membuat puluhan karya tulis. Soal ide yang seringkali sulit didapat, anda dapat mengkritik atau mengomentari buku ini dan menuliskan pandangan tersebut dalam sebuah karya. Dengan begitu, selain opini anda tersalurkan, insya Allah dalam waktu dekat anda sudah dianggap sebagai penulis. Mudah sekali bukan?.
*) Penulis adalah warganet dan maniak buku asal Sumenep Madura.