Oleh: Ummy Miqdam Fathin
Anak adalah berlian berharaga yang tetap indah meski dipandang dari sudut mana pun. Membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain, bukanlah sikap bijaksana sebagai orangtua, karena setiap pribadi seorang anak memiliki keistimewaan masing-masing.
Karakter anak yang buruk menurut kita, akan menjadi terpuji jika kita bisa menyikapi. Kepribadian anak yang negatif dalam pandangan banyak orang, akan mejadi positif jika kita bisa mengarahkan secara kreatif.
Anak yang cengeng bisa jadi ia mempunyai potensi perasa. Biasanya, mereka meluapkannya dalam bentuk tulisan di buku harian. Jika diarahkan dengan baik sejak dini oleh orang tua dirumah dan oleh guru di sekolah, maka sangat mudah untuk menjadi seorang novelis dan cerpenis. Banyak penulis yang berhasil difilmkan novelnya berkat keterampilan sutradara, karena novel tersebut menyentuh hati audiencenya.
Public relation, dosen, ulama, MC, moderator diskusi dan presenter TV, kebanyakan memiliki masa lalu yang kelam, baik di lingkungan keluarga, sosial dan tempat ia belajar, karena selalu dapat teguran dan sanksi akibat sifatnya yang cerewet, bawel dan ngeyel.
Beruntung mentalnya tidak kerdil dan menemukan ruang dan dukungan untuk mengaktualisasikan kebawelan dan kecerewetannya lewat jalur yang positif serta bernilai market tinggi. Sehingga ia bisa membuktikan, bahwa karakter buruk yang selama ini dihujat banyak orang di sekitarnya, adalah sesuatu yang unik apabila dikembangkan menjadi skill yang bersifat aplikatif sesuai tuntutan sebuah profesi.
Anak yang dianggap keras kepala bisa jadi kedepannya ia adalah seorang pemimpin besar. Egoisme jika digabungkan dengan skill dan ilmu kepemimpinan, akan melahirkan watak teguh pendirian, bijaksana dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang, apa pun resikonya. Jiwanya akan terlatih menjadi jiwa yang besar dan mampu menghadapi kenyataan, selama kenyataan itu sudah melalui usaha maksimal dengan penuh keyakinan.
Biarkan anak nakal, karena sejatinya kenalan adalah perilaku coba-coba atau eksperimentasi untuk mengetahui akibat yang akan terjadi setelahnya. Sejatinya, kenakalan adalah jeritan hati yang belum menemukan ruang bebas dan kematangan untuk diekspresikan. Kenakalan adalah potensi emas yang belum tampak buahnya.
Ibaratnya pohon yang belum berbuah, apabila diberi pupuk dan air yang banyak serta melimpah, akhirnya hanya akan menjadi busuk saja. Yang diperlukan adalah kesabaran dengan dosis nasehat, peringatan, arahan dan teguran yang terukur dan terarah serta konstruktif. Over protactive hanya akan membuat anak terkekang, stagnan dan sulit menemukan jati dirinya yang harus diproses secara dinamis.
Anak yang suka berprasangka buruk, sulit menanamkan kepercayaan kepada orang lain dan selalu berfikir curiga, bisa jadi kelak akan menjadi detektif, aparat penegak hukum yang membutuhkan potensi analisa dan kewaspadaan, inteljen negara, advokat dan sebagainya.
Nasehat yang berlebih untuk selalu berprasangka baik, percaya begitu saja dan menghindari buruk prasangka, untuk anak dengan jenis karakter suka su’udz dzon, akan membuat ia lugu, mudah percaya, mudah tertipu dan rawan menjadi korban janji-janji palsu.
Motivasi dari luar dan training kesuksesan memang penting. Namun dalam batas-batas tertentu masih bisa dibilang kurang efektif. Yang terpenting dan terbukti efektif saat ini adalah motivasi dari dalam diri sendiri.
Apapun fitrah karakter yang Tuhan berikan pada anak kita, sebagai orangtua, kita harus ridho. Karena keridhoan orang tua adalah awal untuk membuka potensi anak-anaknya. Keridho’an berarti kerelaan. Kerelaan meniscayakan kelapangan hati untuk menerima apa adanya sebagai bentuk syukur, yaitu dengan mengarahkannya menjadi potensi yang kelak akan membanggakan.
Membesarkan anak tujuannya bukan untuk menjadi sarjana, dapat juara dan penghargaan, tapi untuk menjadi pemeran dalam peradaban. Jika pendidikan anak hanya ditargetkan agar mendapat prestasi an sich tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kepribadian yang siap di-implementasikan dalam kegiatan bermasyarakat, profesionalisme kerja dan peran-peran membangun peradaban, maka pendidikannya bisa dikatakan gagal.
Anak dibawah usia tujuh tahun masih individualis, karena belum paham arti berbagi. Egoisme ini normal dan wajar karena masih dalam batas usia yang masih bisa diarahkan. Bukan ingin membiarkan akhlaq anak menjadi tidak baik. Tapi dalam rangka membiarkan fitrahnya agar tidak merasa dipenjara dan dibatasi naluri kemanusiaannya sebagai seorang anak. Maka jangan dipaksa untuk berbagi. Utamakan anak kita ketika berebut mainan. Suatu saat dia akan mengerti sendiri arti kebersamaan dalam menjalankan kehidupan.
Kepuasan ego anak ketika di bawah usia tujuh tahun akan memudahkan ia untuk berbagi setelahnya. Tapi jika dibawah tujuh tahun sudah diciderai fitrahnya, ia akan menjadi anak yang gugup, dan tidak mampu mengambil sebuah keputusan ketika dihadapkan pada sebuah permasalahan.
Silahkan membuat anak cinta pada al-Qur’an, tetapi jangan paksa anak bisa baca dan hafal bacaan al-Qur’an . Ajari anak cinta buku, bukan bisa baca buku. Karena anak mampu mencintai buku, maka ia akan membaca seumur hidupnya.
Dalam konteks pendidikan agama, bukan sekedar sebanyak apa anak paham agama. Tapi sejauh mana mereka semangat dalam belajar agama. Maka tanamkan kecintaan terhadap agama, dengan sendirinya anak akan sangat faham agama. Karena, kecintaan melahirkan semangat belajar dan semangat belajar akan menggerakkan dia belajar dengan tekun, tanpa paksaan, iming-iming, apalagi ancaman. Pada gilirannya, ia akan faham agama dengan baik.
Tugas kita sebagai orangtua, bukan sebanyak apa mengajarkan pengetahuan, karena ilmu pengetahuan berkembang terus menerus. Tugas kita hanyalah sebatas menanamkan kepada anak gairah mereka mencari ilmu sehingga dapat memecahkan permasalahan yang akan ia hadapi selama hidupnya di alam semesta.
Kenangan indah dengan orangg tua saat kecil, akan terekam dan membekas dalam ingatan anak sehingga menjadi efek baik di masa depannya. Masa kecil yang indah akan terekam oleh memori anak dan akan diputar kembali saat dewasa nanti, menjelma suasana batin dan kepribadian.
Dalam hal ini, mari kita contoh keluarga Habibie. Sedari kecil ia terobsesi pada pesawat. Seluruh keluarganya melihat obsesi Habibie sebagai sebuah mimpi yang harus diwujudkan dengan meciptakan suasana masa kecil Habibie penuh dengan hal-hal yang berhubungan dengan pesawat.
Akhirnya, seorang Habibie mempunyai “family mission”, yaitu sebuah keluarga yang mencintai pesawat. Istrinya, ibu Ainun, mendukung penuh misi suaminya. Dampaknya Habibie mencintai sang istri sepenuh hatinya. Pada gilirannya, keluarga yang bahagia dan misi yang tercapai, dua-duanya sama-sama didapatkan.
Sebagai orangtua, yakinlah pada fitrah anak. Jangan khawatirkan rezekinya di masa depan. Fitrah yang bebas dan liar di masa kecilnya, adalah fitrah yang utuh dan sempurna. Fitrah yang tidak cidera akibat marah, larangan, halangan dan ancaman orangtua adalah modal kemandiriannya di masa depan.
Karakter yang antagonis dan tempramental lahir dari suasana masa kecil yang penuh cacian, hujatan, ujaran kebencian dan menyikapi sebuah kesalahan anak dengan kemarahan bahkan kekerasan fisik yang menyakitkan.
Sedangkan karakter yang suka berbaur, tenang dan andhep ashor berasal dari masa kecil anak yang penuh ceria, kebersamaan yang hangat di tengah-tengah keluarga dan penghargaan yang tinggi atas karya dan perilaku anak, meski sebenarnya salah dalam ukuran dan penilaian orang dewasa.
Dua karakter di atas mengingatkan saya kepada dua tokoh dalam sejarah kenabian, yaitu Umar bin Khatab dan Khalid bin Walid. Meski Umar bin Khatab adalah figur gagah, perkasa dan pemberani, namun Nabi tidak Pernah mengangkat beliau sebagai panglima di setiap medan peperangan, karena ia tempramental.
Tetapi Khalid Bin Walid meskipun tidak segagah Umar bin Khatab selalu dipilih dan di percaya oleh nabi sebagai panglima perang karena karakternya yang tenang meski di arena pertempuran. Wallaahu a’lam.
*) Penulis adalah Kepala TK. Nurul Jadid, Dusun Klompang Robbhu, Desa Rombhuh, Kecamata Palengaan, Pamekasan.