Opini  

Tolak Pasal Penghinaan Presiden

Media Jatim

Saat ini DPR sedang membahas salah satu pasal yang sangat krusial menyangkut masa depan demokrasi di Indonesia, yaitu pasal pennghinaan terhadap presiden. Bila pasal tersebut jadi disahkan, Indonesia akan kembali ke era Orde Baru, dimana mengkritik presiden akan menjadi momok yang sangat menakutkan.

Pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan mengekang rakyat untuk menyatakan pendapat. Pasal tersebut berpotensi menjadi alat represi penguasa terhadap siapa pun yang dianggap lawan politiknya.

Pasal 263 ayat (1) RKUHP menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Bunyinya sangat mengerikan karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Penguasa dapat semena-mena menerapkannya untuk membungkam para pengkritiknya.

Pasal tersebut jelas ingin menempatkan Presiden pada posisi anti kritik. Presiden ingin dijunjung bagaikan raja dimana seluruh sabdanya harus diikuti rakyat. Tidak ada ruang untuk mengkritik. Siapa pun yang mengkritik akan berhadapan dengan penjara.

Baca Juga:  Peran Kaum Milenial Dalam Mewujudkan Pemilu Damai dan Berintegritas

Pasal ini mirip dengan Pasal 134 KUHP dimana korbannya sudah tidak terhitung. Para aktivis pengkritik presiden dengan mudah digiring ke penjara. Dan atas perjuangan para aktivis Pasal 134 KUHP berhasil dihapus melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Sehingga aneh jika di era reformasi ini ada sejumlah pihak yang ingin menghidupkan kembali pasal tersebut. Dan lebih aneh lagi upaya tersebut didukung oleh mantan aktivis yang saat ini bergabung di partai penguasa.

Salah satu pendukung penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden adalah mantan aktivis .

Tidak masuk akal, aktivis yang dahulu pernah memperjuangkan kebebasan berekpresi, saat ini tampil menjadi pendorong lahirnya pasal penghinaan presiden. Idealisme yang dahulu menjulang tinggi seakan sirna tidak berbekas.

Siapa pun yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden harus dilawan. Jangan sampai negeri ini mundur ke belakang hanya gara-gara ada segelintir orang yang ingin presiden yang didukungnya tidak ingin dikritik.

Baca Juga:  Membaca Langkah Politik Baddrut Tamam di Pilkada Pamekasan 2024

Oleh karena itu, sebelum RKUHP diketuk palu maka pasal-pasal yang mirip lesse majeste, yakni pasal yang bertujuan melindungi martabat keluarga Kerajaan Belanda, harus dihapuskan. Indonesia sudah diakui dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia jangan sampai mundur menjadi feodalistik kembali.

Siapa pun presidennya jika bekerja di jalur kerakyatan maka akan dicintai rakyatnya. Namun jika presiden bekerja lebih mendahulukan kepentingan asing, menumpuk hutang, dan mengimpor produk-produk kerakyatan, maka akan menerima hujan kritik.

Jadi, untuk melindungi presiden tidak perlu dengan pasal dalam KUHP karena akan rentan digunakan sebagai alat represifitas. Presiden cukup bekerja di jalur kerakyatan. Itu perlindungan sejati karena rakyat lah yang akan melindungi presidennya.

Moh. Nizar Zahro
Ketua Umum SATRIA GERINDRA
(Satuan Relawan Indonesia Raya)