PERIODE II

Permendikbud 15/2018: “Kiamat Sughra” Guru Swasta

Media Jatim

Pendidikan adalah satu-satunya jalan pemutus mata rantai kemiskinan. Kebangkitan Jepang setelah hancur lebur akibat bom atom di Nagasaki dan Hiroshima juga melalui pendidikan. Kaisar Hirohito dengan penuh keyakinan menyampaikan bahwa Jepang harus segera bangkit dari keterpurukan dengan mengumpulkan guru yang masih hidup untuk segera membuka kelas-kelas seadanya dan melakukan pembelajaran.

Sejarah semua bangsa juga menggambarkan bahwa terhapusnya penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain diakibatkan oleh minimnya pendidikan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, terlihat dengan jelas bagaimana penjajah dengan sangat panjang melakukan penjajahan, semua ini terjadi karena adanya pembiaran pada manusia pribumi agar tetap terkungkung dalam kebodohan.

Beruntung bangsa ini mempunyai seorang bangsawan yang bisa merasakan sekolah pertama yang dibangun Belanda dengan nama ELS (Europeesche Lagere School) namun nasionalisme yang masih terjaga hingga pada akhirnya bisa mendirikan sekolah bernama Taman siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Hasilnya, enam tahun setelah pendirian sekolah tersebut, maha karya pemuda Indonesia yang saampai sekarang masih terkenang adalah munculnya kesadaran yang sama dan termaktub dalam Sumpah Pemuda.

Sentuhan pendidikan tercatat dalam tinta emas perjalanan bangsa berdampak sangat sistemik dan komprehensif, para pejuang bangsa ini jadi mengenal bagaimana dahsyatnya perjuangan diplomasi untuk meski tanpa meninggalkan perang gerilya yang juga sudah tidak parsial dan spontanitas. Pendidikan pada akhirnya juga menghantarkan bangsa Indonesia kepada gerbang kemerdekaan yang merupakan hak dan keharusan sebuah bangsa melalui adu taktik/strategi para pendiri bangsa. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang puncaknya adalah pertempuran para santri dan kyai di Surabaya harus diyakini itu adalah hasil pendidikan yang berada di bawah naunngan pondok pesantren. Mempertahankan kemerdekaan bangsa sebagai bentuk Hubbul Wathon Minal Iman (cinta tanah air adalah sebagian daripada iman) adalah esensi pendidikan berkelas pada saat itu. Demikian juga bagaimana upaya bangsa Indonesia tercinta ini mempertahankan diri dari ancaman disintegrasi bangsa mulai tahun 1948 sampai 1965 adalah sebuah bentuk pentingnya pendidikan swasta yang berdiri dibawah pondok pesantren maupun sekolah-sekolah swasta lainnya.

Dari paparan sampai di sini terliihat jelas bahwa peran penndidikan swasta yang begitu vital dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia.

Pemerintahan orde baru dengan jargon rencana pembangunan berkelanjutan yang dikenal dengan REPELITA menjadikan pendidikan sebagai pondasi kuatnya. Hal ini didukung oleh fakta-fakta pendirian SD INPRES dan pada perkembangannya pendirian sekolah negeri dan semakin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang bisa kita lihat sampai detik ini. Sekolah yang mampu bersaing dengan segala inovasinya sesuai tuntutan jaman maka eksistensinya akan terlihat sampai sekarang. Program-program pemerintah dalam rangka pemerataan pendidikan berdampak pada pendirian-pendirian sekolah baru untuk menjangkau yang tak terjangkau di seluruh tanah air. Sementara itu, demi perluasan syiar pendidikan dan berniat memberikan pendidikan yang lebih terjangkau pembiayaannya oleh masyarakat kecil, muncullah pendirian sekolah-sekolah swasta baru berdampingan dengan sekolah-sekolah negeri. Dari sini kita harus tetap meyakini bahwa penyelenggaraan pendidikan swasta juga berdampak positif pada pembangunan bangsa dalam memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus.

Baca Juga:  Pindul; Mata Air Kehidupan dan Mata Air Inspirasi

Perjuangan pendidikan swasta yang sangat panjang dan telah berkonstribusi nyata pada pembangunan bangsa tentunya harus mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Kesejahteraan guru harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, karena bagaimanapun guru adalah ujung tombak jalan atau tidaknya sebuah proses pembelajaran pada lembaga pendidikan. Negara harus hadir melalui kementrian pendidikan untuk memberikan kebijakan-kebijakan yang mendukung keberlangsungan kesejahteraan guru khusunya guru. Di dalam tulisan ini penulis menyoal aturan baru Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 15 Tahun 2018 tentang pemenuhan beban kerja guru, kepala sekolah, dan pengawas yang dalam peraturan ini sangat merugikan guru, khususnya guru-guru yang mengajar pada pendidikan swasta.

Berikut adalah salah satu bentuk “kiamat sughro”guru dalam pendidikan swasta, yaitu pasal 6 ayat 9;

“Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) melaksanakan kewajiban pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 12 (dua belas) jam Tatap Muka per minggu pada satuan administrasi pangkalnya dan paling banyak 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu pada satuan pendidikan sesuai dengan zona yang ditetapkan oleh Dinas”.

Simulasi kasus 1:
Guru Sejarah di SMKN X, mata pelajaran Sejarah Indonesia hanya ada 3 jam di kelas X, jumlah rombel kelas x hanya 2, sehingga total jumlah jam mengajar guru tersebut hanya 6 jam. Kesimpulannya guru tersebut tunjangan sertifikasinya tidak bisa cair.

Simulasi 2:
Rata-rata sekolah swasta baik SMP/SMK/SMA hanya mempunyai 1 atau2 rombel untuk satu jenjang kelasnya, bagaimana nasib guru PPKN, Olah Raga, Sejarah Indonesia, Biologi, iPA, Fisika,Kimia dalam pemenuhan minimal 12 jam tatap muka?

Simulasi 3:
Guru Keahlian Ganda (KG) mengajar di SMKN Y, mengajar disekolah induk 16 jam tanpa tugas tambahan karena full, akhirnya mengajar di sekolah lain 18 jam (hanya diakui 4 jam), tunjangan sertifikasi tidak cair karena hanya terbaca 20 jam.

Simulasi 4:
Seorang guru SMP swasta mengajar dengan ikhlas dengan honor memprihatinkan bertahun-tahun, pada tahun 2016 baru bisa ikut PLPG, begitu sertifikat pendidik diraih dengan air mata dan penuh perjuangan, sekolah induknya dari tahun ke tahun total hanya 3 rombel,karena mengajar PPKN sampai detik ini belum merasakan tunjangan sertifikasi.

Dan puluhan ribu simulasi lainnya.

Perjuangan guru swasta dengan pengabdian berkepanjangan pada sebuah lembaga pendidikan swasta yang mempunyai sejarah panjang berupaya membangun bangsanya melalui pendidikan harus berakhir dengan penantian yang sia-sia. Jujur saja, banyak sekali guru yang rela tidak digaji atau diberikan honor sekadarnya menerima dengan ikhlas dengan harapan bisa meraih sertifikat pendidik untuk ikut serta merasakan nikmatnya tunjangan sertifikasi harus berakhir dengan kisah sedih menyayat hati. Kebijakan Kemdikbud melalui permendikbud tersebut nyata-nyata telah membuat kegalauan tingkat dewa bagi bara guru khusunya pada pendidikan swasta. Sehingga, jika kondisi ini dibiarkan tanpa adanya peninjauan kembali permendikbud tersebut tentunya akan membuat penyelenggara pendidikan swasta menggali lubang kuburnya sendiri karena akan ditinggalkan oleh para gurunya. Pernahkah kita sebagai manusia yang sangat mencintai bangsanya berfikir bagaimana jadinya jika para guru sudah meninggalkan kelas dan mengambilprofesi lain dengan jumlah jamaah sangat besar? Dan pernahkah kita membayangkan bagaimana jadinya jika para generasi berikutnya tidak mau berprofesi sebagai guru swasta karena tidak ada secercah harapan disana? Dan… Di sinilah awal mula kemunduran bangsa jika pendidikan selalu dikesampingkan dengan membunuh kesejahteraan guru.

Baca Juga:  Narasi

“Pendidikan bukan segala-galanya, tetapi tanpa pendidikan kita akan kehilangan segalanya” begitulah kiranya harapan dan cita-cita semua manusia Indonesia yang selalu terus berusaha memerdekakan diri menjadi lebih baik pada masa depan melalui kemandirian ekonomi dari sebuah proses panjang berpendidikan. Sekolah tingkat yang megah dan tinggi, kurikulum yang sering ber-“evolusi” tanpa adanya guru-guru sebagai garda depan dalam melaksanakan pembelajaran yang berkualitas maka penciptaan sumber daya manusia generasi emas bangsa akan sama halnya dengan menjaring angin. Para guru tentunya mempunyai harapan yang sama, bahwa mereka mempunyai hak yang sama untuk sejahtera dari hasil perjuangan panjang mendapatkan sertifikat pendidiknya.

Rasanya akan menjadi sakit hati yang akan bisa menjadi tragedi bencana negeri tercinta ini jika para guru swasta yang penuh rasa ikhlas mengajar dan pada saat berhak mendapatkan hak-nya namun di”kriminalisasi” dengan peraturan yang sangat tidak mungkin untuk dipenuhi.

Langkah nyata yang bisa dilakukan oleh Mendikbud tentu saja adalah dengan mencabut dan me-revisi dengan penuh cinta Permendikbud No 15 Tahun 2018 dengan merubah pasal 6 ayat 9 yang berbunyi;

“Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) melaksanakan kewajiban pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 12 (dua belas) jam Tatap Muka per minggu pada satuan administrasi pangkalnya dan paling banyak 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu pada satuan pendidikan sesuai dengan zona yang ditetapkan oleh Dinas”.
Setidaknya dilakukan perubahan (dengan menghapus kata TATAP MUKA) menjadi;

“Guru mata pelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) melaksanakan kewajiban pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 12 (dua belas) jam per minggu pada satuan administrasi pangkalnya dan paling banyak 6 (enam) jam Tatap Muka per minggu pada satuan pendidikan sesuai dengan zona yang ditetapkan oleh Dinas”. Sehingga, para guru-guru dengan jumlah jam sedikit di struktur kurikulum atau karena jumlah rombel yang sedikit untuk sekolah swasta kebanyakan dan sekolah negeri di kecamatan atau daerah terpencil, dengan kewajiban pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 12 jam (bisa jam tatap muka ditambah jam tambahan) bisa bahagia menatap dunia. Yakinlah bahwa doa para guru yang teraniaya itu bisa menjadi bencana yang besar dan menakutkan. Dulu mereka sempat bahagia dengan lima hari kerja, yang mereka yakini bahwa asalkan mereka masuk lima hari kerja dengan 8 jam/hari maka tunjangan profesinya akan mengalir dengan lancar, faktanya kebijakan lima hari sekolah tidak linier dengan aturan pemenuhan minimal mengajar 24 jam.

Pak Mendikbud yang tercinta, ayo muliakan guru dengan kebijakan yang bisa membuat mereka tersenyum bahagia, karena bagaimanapun masa depan bangsa berada pada tangan mereka.

*Penulis adalah Kepala SMK NU Tenggarang (Satu-satunya SMK Gratis Sampai Lulus Terakreditasi B di Indonesia) & Pengurus LP Ma’arif NU Bondowoso