Ngaji Teater: Abhantal Ombe’ Asapo’ Angin

Media Jatim

MediaJatim.com, Sumenep – Keluarnya makna terhadap teks menjadi alasan Mahendra dan para pegiat kebudayaan di Sumenep untuk membaca ulang peristiwa “bunyi sunyi” tentang kehidupan dan segala tentangnya.

Hal tersebut yang melatarbelakangi terselenggaranya Agenda Ngaji Teater yang digagas oleh Language Theatre Indonesia. Tujuannya, untuk memberi suntikan pengetahuan para penikmat literasi dan kebudayaan di Madura.

Acara ini dibuka untuk umum, semua bisa datang guna bertukar isi pikiran. Ngaji Teater ini bertempat di Romah Tastaman Sumenep, Selasa (5/3/2019) malam. Turut menyemarakkan Teater Pelar STITA dan Sanggar Becak Annuqayah. Mereka membedah tema “Bunyi Sunyi Sebuah Modus Pengucapan dari ‘Abhantal Omba’ Asapo Angin'”.

Mahendra selaku pemantik pada agenda rutinan yang ke-17 di malam itu, mengungkapkan resolusi pandang, bahwa makna yang selama ini kuat dipakai sebagai pegangan orang Madura, belum tuntas atau hanya membaca di bagian luar makna saja.

Baca Juga:  Komunitas Ruang Kita Siap Warnai Literasi di Pamekasan

“Saya menyadari bahwa kita sangat krisis perbincangan tentang makna itu. Sebetulnya orang Madura mempunyai bunyi sunyi yang tidak terpisahkan, keduanya sangat dekat, bahkan saya kira itu tidak ada jarak,” ungkap Mahendra.

Esensi Abantal Omba’ Asapo Angen’ malam itu memunculkan beberapa gagasan. Pertama, falsafah hidup tentang sebuah cerminan hidup orang Madura yang pantang menyerah. Sebab ketika kaki menginjak geladak kapal, maka kematian adalah jalan yang paling jelas terpampang.

Kedua, kebudayaan laut mempunyai pola-pola yuang lebih reflektif. Sebab, di tengah laut tentu menemukan sebuah kesunyian. Sunyi bagi orang Madura adalah kosong, karena sesungguhnya kosong bukan berarti ketiadaan, melainkan kosong sama dengan isi. Maka bagi orang Madura isi yang sebenarnya adalah kekosongan (ketika manusia sudah sampai kepada ketiadaan ego dan kematian nafsu).

Baca Juga:  Polres Dukung Baanar Bangil Perangi Narkoba

Ketiga, seperti perempuan Madura, ketika melepas suaminya ke laut, bararti melepas kepada kematian. Hanya doa dan harapan yang terus dipanjatkan kepada Pemilik Laut, agar suaminya sehat, selamat, dan selalu dalam perlindungan-Nya.

Dari tiga esensi tersebut, Mahendra menyimpulkan bahwa bunyi sunyi adalah sebuah usaha kembali melihat kesunyian jiwa kita sendiri, yang mempertemukan spiritualitas sunyi, laut, dan Madura adalah sebuah hubungan semantik atas paradoks.

“Kita yang hadir di sini percaya, bunyi sunyi yang saya maksud adalah sebuah usaha mempertemukan semantik dan paradoks, sebagai usaha kita untuk melawan bahasa-bahasa yang diberikan orang lain kepada kita,” tutupnya kepada reporter Media Jatim.

Reporter: Shafif K A

Redaktur: Sulaiman