MediaJatim.com, Jakarta – Mantan aktivis Jamaah Islamiyah Nasir Abbas mengatakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah cara dan bentuk lain dalam radikalisme Islam. Katanya, HTI sama saja sepertiNegara Islam Indonesia (NII), Darul Islam (DI) dan gerakan radikalisme Islam lainnya yang menginginkan tegaknya Islam dalam bentuk negara, bahkan khilafah di dunia.
“HTI termasuk kelompok radikalisme karena secara difinisi radikalisme adalah politik agama, hanya saja mereka anti demokrasi. Dan mereka punya ideologi yang ekstrem yang harus dicapai,” kata Nasir Abbas Mantan Jamaah Islamiyah (JI) dalam Diskusi Publik dengan tema ‘Membongkar Inflintrasi Dakwah HTI Melalui Rekrutmen Mahasiswa di Kampus. Acara ini diselenggarakan Kaukus Muda Indonesia (KMI), Kamis (22/08/2019) di Hotel Central, Jakarta Timur.
Menurut Nasir sapaan akrabnya, gerakan NII, Darul Islam dan Jamaah Islamiyah, semuanya mereka sama saja dengan khilafah. Mereka mempunyai tujuan yang sama walaupun mereka beda organisasi.
“Proses rekrutmen kelompok radikal ini, salah satunya menyiarkan syi’ar Islam. Biasanya mereka membandingkan ciptaan tuhan dan manusia sehingga pikirannya dirasuki. HTI cara rekrutnya juga melalui bumbu kebencian terhadap salah satu sistem di negara,” ungkapnya.
Kata Nasir dengan logat Melayunya mengatakan, sasaran rekrutmennya bukan hanya mahasiswa tapi juga dosennya dan stafnya. Dimana mereka selalui ingin menguasai kampus, fakultas-fakultas, kegiatan-kegiatan ke-Islaman di kampus dan bahkan masjid kampus.
“Terkadang infaq juga bisa dijadikan kesempatan kelompok radikal untuk amunisi untuk membeli senjata. contoh infaqnya seperti infaq muslim rohingya bisa jadi infaqnya bisa digunakan untuk membeli sanjata, karena itu juga masuk infaq sabilillah,” terangnya.
Selain itu kata Nasir, mereka sekarang memanfaatkan medsos dengan menyebarkan opini, sehingga mereka mengajak masyarakat menjadi bagian dari mereka. Perekrutannya itu juga menggunakan syair-syair Islam, sehingga nantinya bisa dijadikan bahan untuk melawan pemerintah yang sah.
Nasir menguraikan, proses HTI menegakkan awalnya daulah-daulah, setelah itu khilafah. Mereka menegakkan jamaah baru dan merekrut SDM yang unggul dalam melakukan dakwah, dengan mengajak mahasiswa, dosen, pegawai kampus dan bahkan sekarang masuk institusi pemerintah, TNI dan Polri.
“Unsur HTI membuat negara, yaitu ada rakyat mendukung, ada wilayah yang dikuasai dan ada dukungan militer. Karena HTI juga bisa merekrut aparat seperti TNI dan Polri untuk memperkuatnya. Hal itu merupakan salah satu strategi mereka,” tandasnya.
Kata Nasir, tanda-tanda orang yang sudah terpengaruh radikalisme ada beberapa ciri. Yaitu, mudah menjatuhkan vonis kafir, menutup celah perbedaan, tidak mau malakan sembelihan orang lain, menikah tanpa wali orangtua dan tidak mau sholat di masjid pemerintah dengan alasan masjid dhirar. Bahkan mereka mau tabayyun dan tawaquf, kalau sudah setuju dengan khilafah.
“Cara untuk menghindari diri sendiri dari paham radikalisme, harus ada respon kritis dari luar seperti isu negara dan lainnya. Selalu sharing dengan orang lain, agar mendapatkan pemahaman Islam yang sebenar-benarnya,” pungkasnya.
Sementara itu, Dr. Bakir Ihsan, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) mengajak, mari kita jaga NKRI bersama-sama, walapun ada sebagian ada kelompok yang mencoba untuk menseragamkan. Saat ini katanya, memang HTI sudah masuk ke semua lini terutama kampus-kampus sebagai tempat rekrutmen.
Bakir menceritakan mahasiswanya yang terang-terangan mengatakan adalah seorang HTI. Mahasiswa itu memberikan buletin-buletin dan lainnya. Akan tetapi pada akhirnya, mereka ada yang insaf dengan hal itu.
“Semakin luasnya wawasan itu bisa membuat kita memilih jalan yg baru. Saya tidak khawatir meskipun mahasiswa saya memberikan buletin dan majalah tapi yanlng penting bagaimana kita mengisi literasi yang seimbang dengan yang kita punya,” ujarnya.
Menurutnya, kalau kampus tidak diisi dengan modernisasi agama, bisa jadi mahasiswa terpapar dengan paham radikalisme. Karenanya, kita harus menggunakan peluang semaksimal mungkin sesuai dengan ruang kita masing-masing, karena HTI juga memanfaatkan yang demikian.
“Gerakan HTI adalah gerakan ideologi lewat literasi, maka harus dilawan dengan literasi-literasi yang imbang tentang pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang benar,” tandasnya.
Selain itu Imanuddin Rahmat, Direktur Eksekutif Said Aqil Institute (SAI) mengatakan, saat ini sangat susah melawan dederadikaliasi, karena indroktinasinya masih berjalan. Menurutnya, solusinya pemerintah harus membuat gerakan tersebut dihambat karena pemerintah punya hak dan wewenang hal itu.
“Saya pikir juga HTI ini juga ada yg membiayai dan pembiayaan gerakan ini harus dihambat. Pemerintah memiliki kewenangan membatasi dan menghambat gerakan ini,” ujar Imaduddin.
Katanya, paham radikalisme sangat berbahaya terhadap NKRI, namun meskipun HTI dibubarkan tapi ideologinya masih berjalan. Oleh karena itu lanjut Imaduddin, pemerintah harus mengatakan dan memberikan sanksi terhadap aktor-aktor HTI tersebut.
“Pemerintah juga perlu memberikan wawasan terhadap anak muda bahwa paham radikalisme sangat mengancam keutuhan NKRI. Pemerintah berperan dan dapat menjauhkan anak muda dari paham radikalisme,” tegas Imaduddin.
Selanjutnya Ainur Rofiq, Mantan HTI dalam pemaparannya mengatakan HTI khususnya di tahun-tahun ajaran penerimaan mahasiswa baru, pasti akan semakin gencar untuk melakukan rekrutmen terhadap mahasiswa baru. Karena mereka merasa berjuang untuk mempertahankan eksistensinya agar dapat ikut mempengaruhi kebijakan publik.
“Ujung tombak HTI adalah masuk ke kampus-kampus untuk menarik minat mahasiswa baru. HTI melakukan gerakan dakwah di kampus untuk mempengaruhi mahasiswa baru,” tandasnya.
Menurut Ainur Rofik, HTI juga menjadi pressure group untuk mempengaruhi opini publik akan tujuan-tujuan dan cita-cita HTI. Dimana caranya mereka tidak memakai baju HTI, tetapi memakai nama-nama organ taktis, seperti forum-forum kajian dan diskusi.
“Hal ini adalah langkah paling efektif yang dilakukan HTI dalam proses dakwah Khilafah Islamiyah di kampus-kampus melalui lembaga dakwah kampus (LDK) atau forum-forum kajian diskusi keIslaman,” terangnya.
Reporter: Syafrudin B.
Redaktur: Zul