Oleh: Moh. Faridi, M.Pd*
Mengenang anak bangsa yang raib nyawanya akibat menolak pengrusakan alam bernama “Galian C” di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, tahun 2015 silam. Salim Kancil namanya, pemuda desa yang mempertahankan tanah sepetak demi anak cucunya kelak. Salim disiksa dan diarak ke seluruh desa: badannya diamuk bodiguard kepala desa, diikat kakinya, kepalanya dihancurkan, diseret pakai mobil pick-up. Sakitnya masih terasa sampai sekarang, meski manusia-manusia tersebut yang menjadi malaikat maut bagi Salim Kancil sudah ditahan beberapa tahun silam.
Galian C penyebab pembunuhan itu terjadi, sebuah galian tanah dan batu yang berdampak terhadap rusaknya lingkungan, menghancurkan pertanian warga serta menimbulkan penyakit-penyakit terhadap masyarakat di Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Sejarah tragis tersebut akan selalu menghiasi perjalanan anak bangsa bahwa ketamakan manusia akan membuat nyawa tidak berharga dan alam rusak untuk memuaskan nafsu determinisme ekonomi manusia.
Pamekasan Darurat Galian C
Dinas lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pamekasan sudah sering melakukan sosialisasi terkait lingkungan, meski fokusnya masih seputar taman dan pohon-pohon sepanjang jalan perkotaan. Mengejutkan saat beberapa hari yang lalu DLH mengeluarkan rilis sebanyak 350 Galian C tidak berizin tersebar di 13 kecamatan se Kabupaten Pamekasan.
Galian C tidak berizin ini akan menjadi bom waktu yang akan meledak di kemudian hari, luluh lantahlah semua kehidupan di lingkungan tersebut. Jika terus dibiarkan, maka masa depan anak cucu kelak semakin mendekat pada kerusakan, penyakitan dan kesengasaraan. Saat ini saja, akibat penambangan liar (galian C), kerusakan lingkungan di sekitar Galian C menyebabkan gagalnya pertanian warga merebahnya penyakit-penyakit pernafasan menyerang warga sekitarnya.
Kondisi ini sama persis dengan Film dokumenter “Sexy Killer” karya Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta (2019) yang sempat viral dan menghebohkan dunia maya, film ini bercerita romantisme bisnis batu bara kaum elit negara yang telah membunuh banyak manusia akibat dampak pengrusakan alam. Demikian pula di Pamekasan, bisnis galian C liar ini di lakukan oleh elit desa dan elit agama sehingga warga tidak mampu berbuat banyak untuk melawannya, sebab mereka bukan Salim Kancil yang bersedia melawan dengan segala konsekuensinya. Warga sekitar Galian C ilegal hanya mampu menyampaikan kepada DPRD Pamekasan meski hanya menjadi nyanyian sumbang pelengkap aktifitas meja dewan yang mahal.
Hasil penelitian Madura Institute menyimpulkan bahwa masyarakat sekitar Galian C di beberapa kecamatan Kabupaten Pamekasan sudah pasrah atas semua kerusakan tersebut, sebab melawanpun tidak akan menemukan hasil yang berarti, kecuali hanya dikebiri atas nama agama dan dipersulit segala hak-haknya di desa.
Padahal sudah sangat jelas di terangkan dalam Al-Qur’an “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). (Qs. Ar-rum: 41).
Bagaimana bisa ayat tersebut di langgar oleh para elit desa dan elit agama pebisnis galian C ilegal?, bukankah seharusnya Ayat ini menjadi dalil tentang kewajiban tentang melestarikan lingkungan hidup, sebab terjadinya berbagai macam bencana karena ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa di imbangi dengan upaya pelestariannya.
Perlu kiranya membangkitkan kesadaran masyarakat bumi gerbang salam sebagaimana hasil penelitian NEO SUFISME DAN GERAKAN SOSIAL AGAMA-POLITIK DI MADURA: Studi Gerakan Islamisme Aliansi Ulama Madura dalam Dinamika Religio-Politik Masyarakat Madura (Hannan, Erie Hariyanto, 2019) dan meniru polarisasi gerakan yang dilakukan oleh kiai Dardiri Zubairi dalam gerakan “ajaga tana, ajaga na’ potoh” sebagai upaya membentengi alam dari kerusakan akibat keserakahan manusia. kerusakan lingkungan hidup perlu terus disuarakan, sehingga Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup di implementasikan sebagai upaya menjaga lingkungan hidup kabupaten pamekasan dari kerusakan-kerusakan.
*) Peneliti di Madura Institute.