MediaJatim.com, Jember – Bagi sebagian orang, munculnya Ifan Ariadna dalam bursa Pilkada Jember menimbulkan pertanyaan: siapa gerangan, untuk apa, dan dari mana? Pertanyaan tersebut menyeruak lantaran Ifan, sapaan akrabnya, adalah orang yang paling belakang ‘muncul’ di tengah-tengah masyarakat. Sementara bakal calon bupati lain sudah setahun yang lalu bersosialisasi, dan posternya juga bertebaran di mana-mana.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan Ifan. Ia adalah asli kelahiran Jember 40 tahun yang lalu. Kendati masih muda, namun kegigihannya dalam merajut masa depan, membuatnya menjelma sebagai salah seorang pengusaha sukses di Jakarta.
Memang, Ifan memilih waktu agak mundur untuk bersosialisasi. Bukan karena apa, tapi karena harus menunggu restu dari para kiai, melakukan istikharah dan sebagainya. Sebab, untuk bertarung dalam Pilkada bukan hal yang mudah, dan terpilih menjadi bupati juga bukan tugas yang ringan. Oleh karena itu, usaha tersebut mesti diiringi dengan restu dan doa para kiai.
“Setelah istikharah dan minta restu sama para kiai, baru saya memutuskan untuk terjun dalam Pilkada Jember,” ucapnya, Rabu (22/4/2020).
Apa yang dilakukan Ifan dengan istikharah dan minta restu kiai, menggambarkan karakter kesantrian dari seorang Ifan. Istikharah merupakan ciri khas umat Islam, lebih-lebih santri dalam memutuskan suatu persoalan. Bagi Ifan, hasil istikharah dan restu kiai adalah modal penting dalam melangkah dan mengejar impian untuk membangun Jember lebih baik lagi.
Tidak ada yang aneh dengan impian itu. Bagi Ifan, sukses di ibukota tidak ada maknanya jika tidak berimbas ke Jember, tanah kelahirannya. Karenanya sejak awal ia sudah memancangkan tekad untuk membangun Jember. Oleh karena itu, jargon “Wong Jember Mbangun Jember” sangat pas untuk Ifan.
“Ini bagian dari jihad saya, mudah-mudahan beriringan dengan ridla Allah,” jelasnya.
Jihad? Betul. Sebab, untuk terpilih menjadi bupati butuh perjuangan yang sungguh-sungguh. Di sisi lain, keinginan Ifan untuk menjadi orang nomor satu di kota suwar-suwir ini diniatkan untuk mengabdi kepada masyarakat. Jabatan atau kekuasaan bukan untuk gagah-gagahan, namun hanyalah ladang untuk menanam kebajikan. Tanpa niat mengabdi, maka di situlah sesungguhnya badai bencana dimulai.
Dengan perlakuan seperti itu, kekuasaan akhirnya menjadi sumber malapetaka. Sebab, ia diposisikan sebagai alat pemuas syahwat politik. Ketika kekuasaan menjadi satu-satunya bidikan dalam berpolitk, maka yang akan terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan, dan ujung-ujungnya akan menyengsarakan rakyat.
Namun itu tak akan terjadi jika sejak awal berpolitik diniatkan untuk mengabdi. Dan itulah yang dilakukan oleh Ifan, sang santri milenial. Semoga.
Reporter: Ardiansyah
Redaktur: Sulaiman
Mantap mas IFAN, kami menunggu perubahan Jember yg lebih baik.
Saatnya Santri jadi Bupati
Pemimpin Muda adalah Perubahan
Bersama NU menuju Kemaslahatan