MEDIAJATIM.COM, Jember – Tak bisa dibantah bahwa pendidikan merupakan modal utama untuk membuat perubahan. Karena itu, betapa pentingnya keberadaan pendidikan. Bagaimanapun hebatnya suatu negara, tapi pendidikannya macet, maka perubahan ke arah yang lebih baik, tak akan pernah tercapai.
“Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia,” kata mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela.
Namun sayang, pendidikan di Indonesia, masih jauh dari harapan. Meskipun ada skema bantuan berupa BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan sebagainya, tapi jangkauan untuk kalangan masyarakat tidak mampu, belum tuntas.
Hal tersebut tampaknya disadari betul oleh KH Muhammad Hafidi. Oleh karena itu, mantan Sekretaris Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda Ansor Jember, Jawa Timur ini membuat lembaga pendidikan gratis demi mengakomodasi anak-anak keluarga tidak mampu di daerahnya.
“Saya memang tak pernah memungut biaya apapun bagi murid, karena niat saya memang untuk membantu pedidikan orang tak mampu,” ujarnya di Jember, Kamis (27/8/2020).
Kiai Hafidi lahir di Jember, Jawa Timur 52 tahun lalu. Anak sulung empat bersaudara dari pasangan Kiai Kholis dan Hj. Zuhriyyah ini , sejak kecil memang ingin mempunyai sekolah gratis. Meskipun waktu kecil diakuinya tidak tahu menahu soal sulitnya pendidikan, tapi keinginan itu sudah ada. Mungkin itu karena ‘bakat’ dia yang memang suka membantu sesama.
“Saya masih ingat waktu SD, kalau saya lihat sekolah, di hati saya muncul keinginan untuk memiliki sekolah gratis, dan punya bus juga karena bus dulu barang langka,” ujar Kiai Hafidi mengenang masa lalunya.
Ternyata keinginan Kiai Hafidi sekian puluh tahun yang lalu itu kini menjadi kenyataan. Tapi tentu apa yang dimiliki saat ini, tidak dicapai dengan bim salabim, namun melalui perjuangan yang panjang dan melelahkan.
Sebenarnya anggota Fraksi PKB DPRD Jember itu hanya melanjutkan peninggalan sang ayah (Kiai Kholis). Saat masih hidup, Kiai Kholis sempat mendirikan Madrasah Diniyah Bustanul Ulum (1968). Bustanul adalah nama mushala, yang menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Islam Bustanul Ulum. Tahun 1974, Kiai Kholis mulai mendirikan lembaga pendidikan formal, Madasah Ibtidaiyah (MI). Saat itu, Hafidi muda masih nyantri di Pondok Pesantren Al-Amin, Prenduan, Sumenep, Madura.
Sempat stagnan, setelah ditinggal wafat Kiai Kholis, namun pesantren Islam Bustanul Ulum, kembali bangkit setelah Hafidi muda pulang kampung untuk meneruskan warisan sang ayah. Dengan semangatnya yang membaja, Hafidi mulai membangun pesantren yang sudah menjadi puing-puing dan reruntuhan itu.
Di bawah besutan tangan dingin Kiai Hadidi, pelan-pelan pesantren menggeliat. Bahkan akhirnya berkembang cukup pesat. Tidak cukup dengan MI, Kiai Hafidi kemudian membangun SMP IBU (2006), dan SMK IBU (2009). Sekolah yang disebut terakhir ini, peresmiannya dilakukan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur, H. Saifulah Yusuf. Saat ini jumlah santri dan murid YPIBU mencapai 4.350 orang.
Berkat Doa Masyarakat
Semua nama lembaga formal tersebut menggunakan embel-embel nama IBU. Yaitu akronim dari Islam Bustanul Ulum, karena memang pesantren dan semua lembaga di dalamnya dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam Busanul Ulum (YPIBU), yang berlokasi di Dusun Gempal, Desa/Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember.
Tapi bukan sekadar itu, nama IBU mempunyai filosofi yang tinggi. Ibu adalah sosok yang harus dihormati, doanya maqbul. Kiai Hafidi yakin kemajuan lembaga IBU saat ini tak lepas di doa para ibu wali murid, doa masyarakat semuanya. Sebab, niat Kiai Hafidi untuk mendirikan sekolah murni karena ingin membantu masyarakat, terutama kalangan tak mampu.
Selain itu, tentu karena doa pendiri pesanren, Kiai Kholis. Dialah yang merintis pesantren Islam Bustanul Ulum, dengan segala doa dan perjuanganya.
“Saya yakin seribu persen ini berdiri karena doa masyarakat dan pendiri pesantren. Saya tidak punya kekuatan apa-apa, saya juga bukan ustadz, apalagi kiai,” paparnya.
Namun yang perlu dicatat bahwa santri dan murid yang menempuh pendidikan di YPIBU, semuanya tidak dipungut biaya apapun. Tidak hanya gratris, semua murid disediakan kendaraan tranportasi untuk antar jemput murid. Untuk keperluan itu, YPIBU menyediakan armada 12 bus full AC dan 1 minibus. Sejak jam 6.30 bus-bus itu sudah siap menjemput murid di titik kumpul, dan siang harinya juga mengantarkan murid-murid di titik kumpul semula.
Sedangkan dari sisi infrastruktur, YPIBU juga menyediakan klinik kesehatan umat (KKU), minimarket, beberapa laboratorium, dan bahkan ruang kelas terapung.
Selama ini muncul kesan bahwa yang gratis-gratis, pelayanannya tidak bagus, bahkan kerap dituding disembarangkan. Namun apa yang dilakukan oleh YPIBU, otomatis mematahkan kesan negatif itu. Pelayanannya bagus, kualitas pendidikan dijaga betul. Alumni SMK IBU juga banyak diterima di perusahaan terkenal, baik di Jawa maupun luar Jawa.
“Bagi saya, ini (murid-murid) adalah amanah. Saya tidak boleh menyembarangkan mereka. Mereka wajib kami layani secara maksimal. Orang tuanya sudah memasrahkan kepada kami agar anaknya pintar dan berakhlak mulia,” urai Kiai Hafidi.
Bagi sebagian orang, penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) tanpa dipungut biaya, nyaris tak masuk akal. Apalagi seperti yang terjadi di YPIBU. Sebab, guru dan karyawannya dibayar, belum lagi gaji sopir bus dan dan biaya solarnya.
“Tapi rezeki Allah itu memang kadang tidak masuk akal, tapi bisa terjadi,” katanya.
Kiai Hafidi memang termasuk sosok yang ulet. Selain mempunyai donator tetap, juga ada donatur dadakan. Mereka adalah masyarakat di sekitar pesantren. Mereka merasa tidak keberatan menyumbang untuk YPIBU. Sebab, bukti gedugnya jelas, muridnya banyak, dan sebagainya. Selain itu, saat ini YPIBU mempunyai beberapa bus yang dikomersialkan, dan memang tidak ditaruh di pesantren.
“Ya kalau dipikir secara akal, memang tidak nutut. Tapi kita punya Allah,” jelasnya.
Kiai Hafidi, telah berbuat sesuatu untuk dunia pendidikan, betapun kecilnya jika dibandingkan dengan luasnya negeri ini. Tapi paling tidak, ia telah berkontribusi ikut campur melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ya pendidikan gratis, sebuah persembahan dari anak desa demi menjaga agar perubahan tetap berjalan meskipun agak lambat.
Reporter: Aryudi A Razaq
Redaktur: A6