PERIODE II
Opini  

Memahami Pancasila Secara Substansial

Media Jatim
Ribut Baidi. (Foto: Ist)

Oleh: Ribut Baidi*

Konsep keberagaman adalah keniscayaan untuk memperkuat jalinan persaudaraan antar masyarakat Indonesia yang telah diposisikan oleh para foundingfathers republik ini untuk menghilangkan segala kepentingan pribadi dan golongan, baik karena perbedaan agama dan keyakinan, budaya (culture), bahasa, adat-istiadat, bahkan dunia kerja, bisnis, dan profesional.

Jimly Asshiddiqie dalam buku Pancasila Identitas Konstitusi Berbangsa dan Bernegara ( 2020) menuangkan gagasan fenomenal bahwa sebenarnya kita semua berada di tengah arus globalisasi yang serba terbuka dan memicu terjadinya hubungan yang saling pinjam-meminjam, transplantasi, dan bahkan contek mencontek antar kebudayaan umat manusia di dunia. Disisi lain, globalisasi juga telah mempengaruhi aktifitas produksi, konsumsi, dan distribusi pelbagai sumberdaya ekonomi semakin terintegrasi secara regional dan bahkan global. Perubahan-perubahan tersebut dipicu oleh semakin canggihnya penemuan dan penerapan tekhnologi informasi dan komunikasi yang mempercepat dan mempermudah semua proses komunikasi, koneksi, dan transaksi lintas komunitas, lintas budaya, lintas negara dengan menerabas dan menerobos sekat-sekat budaya, politik, dan bahkan sekat-sekat antar generasi. Realitas ini, memungkinkan melahirkan tiga sikap pilihan. Pertama, berserah diri dan pasrah menghadapi kenyataan secara pragmatis mengikuti kehendak zaman. Kedua, dengan sikap konsisten pada idealisme sebagai warisan dari para leluhur masa lalu diiringi semangat perang terhadap segala bentuk penyimpangan yang terjadi di sekitar kita, apalagi berupa ancaman yang dipersepsikan sebagai persekongkolan jahat menurut teori-teori konspirasi yang seolah benar dan sangat masuk akal. Ketiga, sikap realis pada kenyataan, tapi dengan tetap berpegangan pada sistem rujukan yang disepakati bersama yang diimplementasikan menurut kebutuhan ruang dan waktu yang bersifat dinamis. Sikap realis ini, mendorong langkah-langkah yang bersifat proaktif dengan berpirau dan berselancar secara kreatif dan proaktif dalam dinamika perkembangan keadaan menuju cita-cita kebangsaan yang telah disepakati bersama dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber rujukan tertinggi.

Baca Juga:  Surabaya Kota NU

Pancasila: Sumber Hukum Tertinggi

Sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, Pancasila telah menyiratkan makna secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis dan mengajarkan tentang urgensi kepentingan negara (integrasi nasional) sebagai faktor krusial dan urgen yang tidak bisa dihilangkan karena faktor ego-sektoral, baik yang muncul mengatasnamakan agama, budaya, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, dan kepentingan pragmatisme lainnya.

Pancasila “Sila Pertama” telah melegitimasi Indonesia sebagai negara yang berdiri di atas semua agama dan golongan yang berbeda, bukan sebagai negara agama ataupun negara sekuler. Namun demikian, Indonesia tidak boleh tercerabut dari akar yang sebenarnya, yakni warga negaranya memiliki agama dan keyakinan yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara sebagai hak asasi yang paling asasi dari Allah SWT.

Konsep keadilan (fairness) dan keadaban yang memanusiakan manusia adalah makna substantif Pancasila “Sila Kedua” dengan menghargai dan melindungi hak asasinya sebagai ajaran agama dan kemanusiaan yang disertai dengan pemahaman secara holistik bahwa manusia semakin berpendidikan, maka semakin berlaku adil, beradab, dan bijaksana.

Integrasi nasional adalah tujuan dari semua perbedaan sikap dan cara pandang yang lahir karena kemajemukan untuk membangun Indonesia yang kuat di masa kini maupun di masa depan dengan tetap melihat sejarah sebagai proses pembelajaran agar semakin baik, berkemajuan, bermoral/berkeadaban, dan peka terhadap perubahan zaman. Oleh sebab itu, Pancasila “Sila Ketiga” telah memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang hakikat mempertahankan Indonesia dari ancaman internal maupun eksternal sebagai kewajiban kita semua bersama-sama dengan pemerintah.

Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) dalam frame politik nasional dilahirkan dari proses pergantian kepemimpinan sebagai syarat mutlak dan konstitusional dalam rangka melanjutkan sistem pemerintahan. Hal ini mencerminkan, bahwa Pancasila “Sila Keempat” salah satu aksinya diwujudkan melalui pemilihan umum (pemilu) sebagai proses politik demokratis yang memiliki tujuan agar demokrasi dari waktu ke waktu berjalan secara matang dan tertata dengan baik.

Baca Juga:  BPIP Gelar Temu Publik dan Coaching Clinic di MUTG: Annisa Tanamkan Personality, Purbiyanto Terjemahkan Nilai Pancasila!

Disisi lain, cita-cita keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia adalah impian besar yang harus terwujud di setiap waktu dan tempat. Konsep besar ini telah digariskan dan dikukuhkan dalam Pancasila “Sila Kelima” sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap masa depan rakyatnya. Oleh karenanya, negara harus bisa menghilangkan keterbelakangan, kebodohan, dan ketertindasan dalam bentuk apapun.

Kansil dan Christine Kansil dalam buku karyanya Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini (2008) telah mengingatkan kita bahwa sesungguhnya ancaman besar yang menghilangkan masyarakat dari kepatuhan terhadap hukum adalah “eksploitasi ekonomi”, terutama dalam saat-saat kritis atau pada saat-saat tekanan ekonomi. Bagi golongan yang merasa dirinya dieksploitasi dalam bidang perekonomian, yang menganggap dirinya ditutup kesempatannya dalam keuntungan yang justru dinikmati oleh golongan-golongan penikmat ekonomi lainnya, maka secara otomatis timbul perasaan jengkel terhadap negara (pemerintah) dan menganggapnya sebagai “kekuasan asing”, dan sebagai kaki tangan untuk kepentingan golongan yang berkuasa. Sebaliknya, jika golongan yang beranekaragam tersebut merasa sebagai peserta yang “merdeka” dan “partner” dalam kesatuan masyarakat, maka secara otomatis pula akan memandang negara (pemerintah) sebagai pelindung mereka, dan masyarakat dengan sendirinya akan patuh terhadap hukum yang dibuat oleh negara (pemerintah).

Dengan demikian, adalah keniscayaan manakala Pancasila tidak hanya dipahami secara tektualis, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari agar spirit nasionalisme dan patriotisme terhadap republik ini benar-benar kian menguat dalam sanubari kita. (*)

*Sekretaris DPC PERADI Pamekasan dan Direktur LBH Sahabat Keadilan Nasional; Memperoleh gelar Magister Hukum dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM).