Opini  

Mewujudkan Demokrasi yang Berkeadaban

Media Jatim
Penulis: Muhammad Aufal Fresky.

Dalam negara demokrasi, setiap orang memiliki hak yang untuk menyampaikan aspirasi politiknya baik secara lisan maupun tulisan. Hak tersebut dijamin dengan jelas dalam konstitusi kita. Sebelumnya, saat pra reformasi, tepatnya zaman Orde Baru, kebebasan itu masih dibelenggu pemerintah. Sikap otoriter Soeharto begitu nampak dalam mengelola negara. Beberapa media massa dibredel sebab tidak sejalan dengan istana. Sekumpulan aktivis ditangkap tanpa alasan yang rasional untuk membungkam nalar kritisnya. Saat itu, Soeharto, selain dikenal sebagai Bapak Pembangunan, dikenal juga sebagai pemimpin tangan besi. Pemerintahan berjalan tanpa oposisi.

Tidak seimbang. Kekuasaan legislatif pun seolah dalam genggaman Soeharto. Pantas saja, selama 32 tahun tidak tergantikan sebagai pimpinan pemerintahan sekaligus kepala negara. Hanya saja, saat itu, sebagian rakyat Indonesia mengakui, bahwa Soeharto berhasil menjaga stabilitas negara. Kekisruhan terjadi hanya saat menjelang pelengserannya sebagai presiden RI. Itu pun karena massa berdatangan ke Jakarta, dan desakan dari banyak tokoh agar The Smiling General mengundurkan diri demi kebaikan bangsa dan negara.

Sejak jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, berduyun-duyun intelektual menawarkan gagasannya bagaimana membangun negara saat sedang reformasi. Sebab, banyak aturan dan kebijakan Soeharto yang dirasa bertentangan dengan konstitusi. Tugas dari presiden selanjunya yaitu merombak itu semua dan menggantinya dengan aturan dan kebijakan sesuai dengan cita-cita reformasi. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi individu untuk berorganisasasi dan menyampaikan kritik dan sarannya dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Selain itu, media massa juga diberikan keleluasaan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, selama tidak berbenturan dengan kepentingan bangsa dan negara. Iklim demokrasi mulai dibangun oleh Presiden Habibie. Meskipun sebagian orang masih menganggapnya sebagai orangnya Soeharto, tetapi nyatanya masih banyak yang mengharapkan kepadanya agar tidak hanya meneruskan kebijakan Pak Harto, tetapi berani menggantinya dengan kebijakan yang bersandarkan pada konstitusi dan mengutamakan kepentingan orang banyak.

Seiring berjalannya waktu, reformasi mulai memulihkan tatanan berdemokrasi. Kedaulatan rakyat mulai menjadi perhatian utama para pemangku kekuasaan. Hingga pada era Presiden Jokowi saat ini, hak-hak rakyat dalam mengungkapkan isi kepalanya diwadahi. Hanya saja, demokrasi yang sedang berjalan saat ini terkadang kebablasan. Kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui ucapan, tulisan, dan perbuatan, kadang menyalahi norma agama maupun norma hukum. Tengok saja media sosial, tidak jarang kita menjumpai orang-orang yang dengan mudahnya menghina dan merendahkan presidennya sendiri. Mengkritik pemerintah dengan membabi buta. Tanpa disertai dengan pemaparan data yang jelas. Kadang, memang sengaja menyebarluaskan informasi palsu atau hoaks di tengah-tengah publik untuk memancing kegaduhan. Dampaknya, masyarakat Indonesia akan mudah diadu domba dan bisa menimbulkan perpecahan. Kebebasan dalam menyampaikan ide dan gagasan mestinya selaras dengan norma hukum dan tidak menyalahi adat ketimuran. Artinya, setiap warga Indonesia silahkan mengeluarkan pendapatnya terkait segala hal, khususnya tentang jalannya pemerintahan, tetapi sampaikanlah dengan penuh keadaban. Bukan dengan barbar, alias ngawur. Apalagi sampai menjelek-jelekkan dan memfitnah pemimpinnya sendiri.

Baca Juga:  Menakar Kontestasi Politik NU di Pilgub Jatim

Jalannya demokrasi tanpa diimbangi dengan moralitas bisa berpotensi merusak tatanan berbangsa dan bernegara yang telah dibangun oleh Foundhing Fathers kita. Lebih-lebih, saat ini setiap orang memungkinkan untuk menyebarluaskan isi pikirannya dalam waktu yang relatif cepat. Demokrasi tanpa didasari tanggung jawab sosial akan berdampak pada kehancuran moralitas bangsa. Kenapa demikiran? Karena setiap orang merasa berhak bebas bersuara tanpa harus memikirkan dampak dari suara yang disampaikannya. Bagi saya, demokrasi yang kita bangun bukanlah demorkasi yang berkiblatkan ke dunia Barat dengan kata lain demokrasi yang sepenuhnya liberal. Demokrasi kita adalah demokrasi yang berasaskan Pancasila. Mengutamakan nilai-nilai luhur dalam setiap aspeknya. Menghormati kebebasan individu selama tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Demokrasi yang kita bangun adalah demokrasi yang memanusiakan manusia dan menghargai kepentingan umum. Bisa dikatakan demokrasi sosial.

Bung Hatta, melalui bukunya yang berjudul Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, pernah menuturkan, bahwa ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial dalam pemimpin-pemimpin Indonesia saat itu. Pertama, paham sosialisme Barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran Islam, yang menurut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat, serta persaudaraan antara masyarakat sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga, pengatahuan, bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme. Menurut wakil presiden pertama RI itu, perpaduan tiga sumber itu memperkuat keyakinan bahwa demokrasi yang akan menjadi dasar pemerintah Indonesia di kemudian hari, haruslah suatu perkembangan daripada demokrasi asli Indonesia.

Baca Juga:  Nomor Urut Satu dan Ayat Kemenangan

Terkait hal itu, untuk membangun demokrasi di Indonesia yang benar-benar bersumber dari nilai-nilai Pancasila, tidak hanya bisa cukup dikaji, diseminarkan, atau didiskusikan alam forum-forum ilmiah. Demokrasi Indonesia mest mewujud dalam tindakan sehari-hari kita. Demokrasi yang menjadi cermin bahwa masyarakat Indonesia mengutamakan nilai-nilai keadaban dalam berbangsa dan bernegara. Sebab, menghadapi tantangan zaman yang kian beragam ini, masyarakat Indonesia dituntut untuk kembali menengok sejarah bangsanya sendiri di masa silam. Dalam membangun demokrasi yang berkeadaban, selain perlu kepemimpinan kharismatik dari Presiden Jokowi, juga perlu kesadaran dari setiap kelompok masyarakat, baik itu mahasiswa, intelektual, buruh tani, LSM, dan sebagainya, untuk bersama-sama menerapkan dermokrasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kesopanan. Tidak gampang tersulut emosi dalam menghadapi persoalan. Mengesampingkan egoisme diri dan kelompok untuk kepentingan bangsa dan negara. Penegak hukum juga harus tegas dan tidak tebang pilih, ketika ada warga yang memang sengaja dan terbukti menyalahi aturan dalam menyampaikan gagasannya. Juga tidak boleh represif dalam menindak warga yang kritis terhadap kebijakaan yang diputuskan oleh pemerintah. Sebab, hal itu bisa menimbulkan matinya dermokrasi. Intinya, mari bersatu padu membangun demokrasi yang berkeadaban. Demokrasi yang selaras dengan falsafah Pancasila.

*) Mahasiswa Program Studi Magister Adminsitrasi Bisnis Universitas Brawijaya/ Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi