Bangkalan — Tuntutan Kepala Desa (Kades) se-Indonesia untuk memperpanjang masa jabatannya menjadi 9 tahun pada aksi demonstrasi yang digelar di depan kantor DPR RI Selasa (17/1/2023) kemarin, memantik reaksi dari sejumlah akademisi.
Akademisi Hukum Pemerintahan Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Safi’ menanggapi tuntutan para Kades untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai tindakan yang sah-sah saja, asalkan mengacu pada kepentingan publik bukan kepentingan Kades sendiri.
“Sah saja, nanti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa mempertimbangkan dipenuhi atau diabaikan, tentu mengacu pada kepentingan publik, bukan kepentingan jangka pendek,” katanya, Rabu (18/1/2023).
Dalam teori demokrasi, kata Safi’, semua jabatan harus dibatasi, karena jika tidak maka rentan disalahgunakan.
Rektor UTM itu menilai, pembatasan jabatan Kades enam tahun dan maksimal 18 tahun itu relatif ideal. Tapi, jika mau diperpanjang menjadi 9 tahun, maka periodenya perlu dikurangni manjadi maksimal dua periode.
“Dengan usulan seperti itu, total masa jabatan Kades tetap sama, yaitu 18 tahun,” ulasnya.
Berbeda dengan Safi’, Sosiolog UTM Surokim menilai tuntutan tambahan masa jabatan Kades sejatinya hanya keinginan sesaat saja yang didorong oleh keinginan melanggengkan kekuasaan.
“Menurut saya, potensi mudaratnya akan lebih besar jika kekuasaan terus minta ditambah periodenya, khususnya jika dikaitkan dengan pertumbuhan demokrasi dan politik desa,” katanya, Rabu (18/1/2023).
Akademisi yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya (Fisib) UTM itu mengaku tidak sepakat jika masa jabatan Kades ditambah dari enam tahun menjadi 9 tahun.
Bahkan dirinya meminta DPR dan pemerintah berhati-hati atas usulan tersebut. Sebab jika aspirasi ini dikabulkan, posisi Kades yang di harapkan menjadi pemimpin pengabdi akan mudah terjerumus menjadi pemimpin penguasa yang tak tersentuh dan sulit dikontrol masyarakat.
“Posisi Kades akan menjadi komoditas dagangan yang potensial mendorong politik uang yang kian ugal-ugalan di Pilkades. Intinya hanya akan membuat politik desa tak lagi dinamis,” tegasnya.
Ketua Aliansi Kepala Desa (AKD) Jatim H Munawar memilih membiarkan tanggapan orang lain soal baik buruknya usulan tambahan masa jabatan Kades. Menurutnya, tuntutan itu dibawa bukan atas kepentingan pribadi Kades, tetapi untuk desa dan masyarakat.
“Kades ini tidak sama dengan Bupati, Gubernur atau Presiden, untuk memperbaiki konflik desa pasca Pilkades saja butuh dua tahun,” terangnya, Rabu (18/1/2023).
Usulan tersebut, kata Munawar, sebelumnya sudah dikaji bersama akademisi dan pakar ekonomi.
“Kami membawa tuntutan ini bukan dengan tangan kosong, sudah kami kaji dengan akademisi dan pakar ekonomi,” tukasnya.(hel/faj)