Saudara jauh saya sudah lima tahun menjaga toko di Jakarta. Dia pernah bercerita penuh kesal.
“Saya sering gak fokus, uang kembalian kepada pembeli sering lebih,” katanya.
Bukan sekali dua kali, tapi lebih 21 kali, kata dia. Saya tanya, “Apa ada pembeli yang mengembalikan uang lebih itu?”
“Ada tiga atau empat orang,” sahut dia.
“Mungkin ada yang tidak tahu kalau uang kembaliannya lebih, misal langsung dimasukkan ke kantong celana karena orangnya buru-buru,” timpal saya.
“Masalahnya yang banyak begitu seingat saya tetangga-tetangga dekat sini,” balasnya.
Saya pun tebersit, bahwa mungkin sudah menjadi naluri sebagian besar orang untuk menerima perilaku salah asal menguntungkan dirinya seperti kasus pembeli di atas.
Secara sadar, tidak mengembalikan kelebihan uang kembalian pada saat transaksi jual beli jelaslah keliru.
Tapi ada orang-orang yang bertahan di posisi keliru karena kekeliruan ini justru menguntungkan dirinya.
Saya pun bertanya kembali ke saudara. “Apa ada pembeli yang kurang uang kembaliannya lalu pergi tanpa meminta kekurangannya?”
“Hampir tidak ada. Pembeli itu biasanya ngitung uang kembalian dulu kalau sudah beli-beli. Kalau kurang biasanya langsung minta,” paparnya.
Barangkali, mengembalikan kelebihan uang saat beli-beli dianggap oleh sebagian orang sebagai tindakan merugikan. Sebab, kembalian lebih dianggap rezeki. Sehingga, mereka tidak mau menerima kebenaran harus mengembalikan kelebihan uang yang sudah terlanjur dia anggap sebagai rezeki.
Itulah maksud saya, bahwa beberapa orang kadang menolak kebenaran atau sikap benar yang dinilainya merugikan dan menerima kesalahan atau sikap salah yang menguntungkan dirinya.
Hal serupa juga kerap terjadi dalam urusan pemberitaan. Banyak instansi dan pihak yang merasa kesal saat diberitakan dengan fakta-fakta buruk; gagal target, pembangunan mangkrak, pungli, pemotongan anggaran dan seterusnya.
Betapa pun fakta dalam berita itu benar dan sungguh sangat benar, mereka kadang tetap merasa kesal dan bersikap sinis kepada jurnalis yang menulis berita buruk itu.
Itu pernah saya alami saat menulis isu Dinas Kesehatan di sebuah kabupaten. Padahal, saya hanya menulis fakta tentang pemutusan kontrak BPJS Kesehatan.
Memang rata-rata pejabat memiliki kecenderungan untuk menolak berita benar yang kesannya merugikan dan mencoreng citra baik mereka.
Tetapi di sisi lain, mereka justru mau dan tersenyum saat diberitakan baik seperti, “Dinkes Mampu Tekan Angka Stunting” walaupun data penekanan stunting tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan alias tidak valid.
Tolok ukur dan kacamata yang dipakai warga akhir-akhir ini cenderung di luar diskursus benar-salah, tapi terjebak di dalam hitungan untung-rugi.
Pada titik inilah sudut pandang tentang berita apa yang layak terbit menjadi bias lantaran sejumlah pihak hanya mau diberitakan dengan isu yang adem ayem dan flat (datar) walaupun tidak sepenuhnya benar dan menolak berita buruk yang sepenuhnya benar.
Sudut pandang ini lahir dari kebiasaan berpikir secara tidak adil atau tidak adil sejak dalam pikiran.
Saya teringat nasihat Jean Marais kepada Minke dalam Novel Bumi Manusia;
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” demikian kata Jean Marais dalam sebuah percakapan kepada Minke di Novel Bumi Manusia karya Pramoedy Ananta Toer, halaman 52.
Jika mau adil sejak dalam pikiran, seharusnya, siapa pun mereka yang senang diberitakan dengan fakta-fakta baik juga harus menerima saat diberitakan dengan fakta-fakta buruk.
Ingin selalu tampak baik itu jelas sama dengan menolak kodrat dasar manusia yang dilingkupi baik-buruk. Manusia dililit khilaf. Khilaf inilah yang meniscayakan kondisi baik dan buruk.
Dan jika ada orang yang selalu ingin dicitrakan baik dalam pemberitaan, barangkali mereka mengandaikan dan membayangkan diri mereka sebagai malaikat.(*)
_____
*Ongky Arista UA, Pemimpin Redaksi Media Jatim.