Opini  

Menilik Pasal Pembungkam Kebebasan Pers pada RUU Penyiaran

Media Jatim
Tulisan mahasiswi utm
Dinara Safinatul Fiqh

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran hadir untuk memerdekakan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sebagaimana tercantum pada Pasal 28 huruf (f) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan infromasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Segala pembuatan undang-undang atau peraturan lainnya harus berpatokan pada UUD 45 sesuai hierarki perundang-undangan. Apabila hal ini tidak dilaksanakan maka akan banyak pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi dan multitafsir serta dapat berdampak buruk pada masyarakat.

Mengikuti berbagai sumber berita, hari ini muncul RUU Penyiaran. RUU ini direspons penuh kekhawatiran oleh masyarakat sebab dinilai menghambat kerja-kerja pegiat pers.

RUU ini memiliki potensi untuk membatasi hak-hak publik mendapatkan informasi lebih banyak di media massa dan media sosial. Misal kita tilik beberapa pasal pada draf RUU Penyiaran pada 24 Maret 2024 sebagai berikut:

Pertama, Pasal 34F, Ayat (2) tertulis bahwa terkait dengan penyelenggaraan platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran yaitu termasuk pada konten kreator di media sosial Youtube, TikTok, dan berbasis User Generated Content (UGC).

Baca Juga:  Kurikulum Merdeka dan Upaya Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila

Di dalam pasal ini diatur bahwa penyelenggara platform ini harus memverifikasi konten yang dibuat pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Adanya pasal ini bertentangan dengan aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang juga mengatur platform berbasis UGC.

Kedua, Pasal 42. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jakarta menyampaikan bahwa pada pasal 42 memiliki potensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak-hak pubik atas informasi, yaitu pada Pasal 42, Ayat (1) bahwa muatan jurnalistik dalam isi siaran lembaga penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya pada Ayat (2) dikatakan bahwa menyelesaikan sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian ada tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur bahwa sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers.

Ketiga, Pasal 50B, Ayat (2) huruf (c) tertulis bahwa selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana diatur pada Ayat (1) SIS juga memuat larangan sebagaimana huruf (c) yakni melarang penayangan eksklusif jurnalisik investigasi.

Baca Juga:  Mendiskusikan Kerancuan: Mengapa Berita "Buruk" Gratis dan Kabar "Baik" Berbayar (?)

Dalam pasal ini terdapat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Di mana sebuah kegiatan menulis atau menyiarkan berita bersifat investigatif di mana perlu penelusuran mendalam terkait kasus atau permasalahan yang dianggap janggal dan rahasia.

Keempat, Pasal 50B Ayat (2) huruf (k) mengatakan bahwa penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan dan radikalisme-terorisme.

Di mana pada Pasal 50B huruf (k) tersebut memuat larangan mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal ini dianggap subjektif dan mengandung multitafsir yang berpotensi menjadi alat pembungkam serta mengkriminalisasi pers.

Pasal-pasal di atas merupakan sejumlah pasal yang saat ini menjadi kontroversi dalam RUU Penyiaran dan telah menuai banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat terutama penggiat pers di berbagai daerah di Indonesia.(*)
_____
*Penulis bernama Dinara Safinatul Fiqh, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Madura.