Oleh: Wahyudi Suana, S.Pd.
“Abdhinah e ara oreng kyaeh, acarokkah! (Saya diincar orang kyai, mau carok!),” kata seorang tamu tanpa basa-basi di hadapan kyai Ichsan. “Abdhinah mintaah jese” sareng sekep! (Saya minta dijaza’ (kebal) dan jimat!),” lanjutnya.
“Abeh nantos ghelluh. Bedeh masalah napah sampean? (Tunggu dulu, ada masalah apa sebenarnya sampean ini?),” kata Kyai Ichsan kalem.
Begitulah salah satu contoh realitas permasalahan umat yang sehari-hari sering dihadapi Kyai Ichsan di dusun Sumber Bhringas, Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep Madura.
Dari Desa Pancoran, Kadur, Pamekasan, KH. Moh. Ichsan Nawawi yang terkenal zuhud itu adhuko (menetap) di dusun Sumber Bhringas. Disebut Sumber Bhringas karena penduduk di dusun itu dulunya terkenal bringasan, sumbu pendek, dan rawan terjadi carok (duel dengan sajam satu lawan satu). Bukan Kyai Sembarangan yang berani menetap di situ apalagi dengan misi dakwah. Haruslah Kyai sakti yang tidak keder berhadapan dengan celurit dan ilmu sihir. Kyai Ichsanlah orangnya.
Dusun Sumber Bhringas dulunya terbagi ke dalam dua kelompok masyarakat yang satu sama lain saling memusuhi dan sering terjadi konflik antar keduanya, yaitu Temor Sombher (sebelah Timur Pemandian Umum), dan Bere’ Sombher (sebelah Barat Pemandian Umum). Tapi semenjak bermukimnya Kyai Ichsan Nawawi yang berlokasi tepat di pinggir Sombher (Pemandian Umum), konflik dua kubu masyarakat berakhir, dan terjadi ishlah hingga kini. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Keberadaan Kyai Ichsanlah yang ternyata menjadi kunci.
Menurut para sesepuh, ada beberapa hal yang membuat fitnah konflik itu berakhir. Pertama, tentulah keberadaan sosok Kyai Ichsan yang dianggap orang tua oleh seluruh masyarakat baik Temor Sombher maupun Bere’ Sombher.
Kedua, keberadaan masjid yang dibangun Kyai Ichsan di mana masjid tersebut menjadi simbol titik temu antara masyarakat Temor Sombher dan Bere’ Sombher.
Ketiga, Kyai Ichsan sangat bijak dalam membantu mengatasi konflik antar undividu yang mengarah pada kekerasan. Menurut Lora Mukhlash, putera beliau, Kyai Ichsan kerap kali memanggil dua orang atau dua kubu masyarakat yang terlibat konflik. Di hadapan beliau keduanya biasanya diminta untuk mengangkat sumpah agar konflik tersebut diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan.
Keempat, selain sangat berwibawa, Kyai Ichsan terkenal sabar namun sekaligus tegas dalam menghadapi aneka model masyarakat. Sehingga karakter yang kuat tersebut mampu menaklukkan kebengalan dan keberingasan masyarakat sekitar.
Berkat ketokohan beliau, hingga kini, Pesantren Nurul Hikmah dan Masjid Jami’ Nurul Hikmah menjadi simbol resolusi konflik antara Temor Sombher dan Bere’ Sombher. Hal ini terbukti dan terlihat sekali saat-saat pesantren asuhan beliau mengadakan acara-acara besar seperti haul dan imtihanan, di mana masyarakat Temor Sombher dan Bere’ Sombher berduyun duyun datang ke pesantren untuk menyumbangkan tenaga mereka dalam segala hal yang dibutuhkan Kyai.
Untuk menjaga stabilitas yang kondusif tersebut, Kyai Ichsan merubah nama Sombher Bhringas menjadi Sombher Manis. Sebutan itulah yang dipakai hingga kini.
Menurut Lora Mukhkash, dulu, seorang Bupati Sumenep (zaman Orde Baru) pernah secara diam-diam mengunjungi Kyai Ichsan dan memberi hadiah sebuah sejadah kepada Kyai Ichsan sebagai apresiasi atas perjuangan beliau.
Semoga, kita para santri beliau, dan masyakat pada umumnya, bisa mengambil uswah hasanah dari kisah-kisah beliau.
*) Penulis adalah staf pengajar di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Sumber Manis, Sumenep.