MediaJatim.com – Kasus pandemik virus corona (Covid-19) berdampak luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Semua pihak telah mengambil bagian untuk terlibat aktif menghadapi virus mematikan tersebut.
Saya mencatat setidaknya terdapat dua pandangan yang mengedepan di tengah-tengah masyarakat terkait corona.
Pertama, pandangan yang disandarkan atas dalil-dalil agama yang menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi, fikih dan idiom-idiom keagamaan lainnya.
Kedua, pandangan yang mengedepankan logika (sains) dengan kajian empirik dan logis berdasarkan bukti-bukti dari realitas yang ada serta menolak dalil-dalil agama yang dogmatik.
Agama dan logika seolah diposisikan sebagai sesuatu yang paradoksal.
Pandangan pertama berpendapat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit adalah kehendak Tuhan.
Mempercayai virus sebagai sumber penyakit dinilai merusak akidah dan cenderung syirik. Tetapi, ada juga yang berpendapat bahwa kepasrahan kepada Tuhan atas mewabahnya suatu penyakit adalah tindakan bodoh.
Silang pendapat mengenai hal ini akan menjadi “bola liar” karena tidak ada otoritas keagamaan di negeri ini yang cukup kuat memberikan fatwa untuk dipatuhi seluruh masyarakat. Tidak sedikit ormas-ormas keagamaan yang meyakini bahwa pelemahan akidah akibat corona menjadi momok yang harus dilawan.
Akibatnya muncul banyak kasus di mana masyarakat menolak kebijakan penutupan masjid untuk digunakan shalat jum’at dan shalat berjamaah; penolakan atas pelaksanaan misa di gereja; dan upacara-upacara keagamaan lainnya.
Pandangan kedua berpendapat bahwa segala sesuatu harus dinalar secara logika.
Semua umat beragama dianjurkan menggunakan akalnya untuk menjawab realitas berdasarkan bukti-bukti yang detail dan valid atas kenyataan yang terjadi di lapangan.
Penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, kajian, renungan, dan penglihatan secara mendalam. Dari sini kemudian muncul sejumlah temuan yang menyatakan bahwa penyakit ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui zat penular (transference) yang disebut dengan istilah contagion.
Nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib – seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 di masa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14 disebut-sebut sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan “teori contagion” yang menggunakan kaedah sains alam, dan berdasarkan pengalaman dari pengamatan atas wabah “Black Death” yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia di abad ke-14.
Al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Tuhan dalam menyikapi wabah penyakit menular.
Teori contagion menyebutkan bahwa cara penularan sebuah penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung, seperti bersentuhan, berciuman, hubungan sex dan lain-lain; melalui benda-benda perantara, seperti pakaian, sapu tangan, handuk dan lain-lain; serta melalui udara (jarak jauh).
Dari sini kemudian muncul bahwa untuk mencegah penyebaran virus corona, maka untuk sementara waktu masyarakat dihimbau berdoa dan beribadah di rumah masing-masing; melakukan sosial distancing atau physical distancing, lockdown, karantina wilayah, budaya hidup bersih dan sehat, rajin cuci tangan, meningkatkan imunitas diri, dan sebagainya.
Menentang wabah penyakit atas nama akidah dan tauhid; atau bersikap dan bertindak gegabah atas nama “takut kepada Tuhan”, atau bahkan menolak seruan dan kebijakan penguasa atas suatu wabah penyakit, justru mencerminkan kedangkalannya dalam memahami esensi nilai-nilai agama.
Berdasarkan uraian di atas, sudah semestinya kita tidak perlu mendikotomikan apalagi membenturkan pandangan agama dan logika dalam memerangi virus corona, sebab agama dan logika ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Agama adalah akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak berakal (Al-Din huwa al-‘aql la dina liman la ‘aqla lahu). Kita harus bersatu mengatasi penyebaran virus corona, tanggalkan arogansi sektoral atas nama agama, kelompok apalagi atas nama politik.
Wallahu a’lam bisshawab.
Juanda, 8 April 2020
Nico Ainul Yakin, Wakil Ketua Bidang OKK DPW Partai NasDem Jawa Timur.