Opini  

Masa Depan Budaya Madura: Peluang dan Tantangan

Media Jatim
Budaya Madura. (Foto: instagram/potretmadura)

Madura tidak hanya dikenal luas sebagai pulau penghasil garam. Lebih dari itu, di dalamnya terdapat budaya lokal yang memang menjadi identitas pembeda Madura dengan wilayah lainnya. Berbicara mengenai budaya Madura, maka yang mengemuka adalah perpaduan antara masyarakat Madura yang religius dengan lingkungan alam yang keras dan tandus, yang melahirkan manusia-manusia ulet, pekerja keras, tangguh, dan agamis. Terkait hal itu, Kuntowjoyo (2002) pernah menegaskan bahwa budaya Madura berbasis tanah tegal dan perubahan sosial yang terjadi bersifat unik. Dalam artian, perubahan sosial masyarakat Madura tidak mengikuti kecenderungan umum.

Sayangnya, sebagian masyarakat dari luar masih memiliki stigma negatif terhadap orang-orang Madura. Mereka berpikir bahwa orang-orang Madura identik dengan kekerasan, mau menang sendiri, mudah menghunus senjata, dan suka memaksakan kehendak. Sepertinya, orang-orang yang memiliki pandangan semacam itu belum seutuhnya mengenal masyarakat Madura itu seperti apa aslinya. Barangkali, yang diserap hanya dari media-media yang kadang separuh-separuh memaparkan seperti apa sebenarnya orang Madura. Padahal, ditinjau dari sejarahnya, citra jelek semacam itu sengaja dikembangkan oleh penjajah Belanda untuk kepentingan mereka. Sebab, sudah menjadi rahasia umum, saat itu, penjajah memang gemar mengadu domba. Termasuk suku Madura yang tidak luput dari sasaran mereka.

Orang Madura mesti menghilangkan rasa inferior atau merasa rendah diri terkait asal usulnya sendiri. Harus berani menunjukkan identitas diri sebagai bagian dari suku Madura. Masalah orang lain memandang negatif, anggap saja mereka tidak paham betul mengenai Madura. Sebab itu, sebagai salah satu pemuda yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Madura, saya merasa terpanggil untuk memberitahukan kepada publik bahwa mengenal Madura tidak cukup hanya dari media atau orang-orang yang kebetulan memiliki pengalaman pahit dengan suku Madura. Sebab, pandangan semacam itu biasanya justru membuat kita mengambil kesimpulan subjektif yang bisa saja jauh dari yang sebenarnya. Banyak yang tidak tahu, orang-orang Madura sebenarnya sangat mengutamakan akhlak dalam setiap interaksi sosial. Apalagi sebagian masyarakat Madura adalah santri yang notabenenya diajari bagaimana mengamalkan nilai-nilai luhur dalam berhubungan dengan manusia, alam (termasuk hewan dan tumbuhan), dan Tuhan.

Baca Juga:  Geger! Pasien RSMZ Sampang Temukan Janin Laki-Laki di Kamar Mandi

Budaya Madura sendiri tidak hanya bersangkutan dengan budaya berbentuk fisik seperti batik, makanan khas (nasi jagung, sate lalat, dsb), tarian, karapan sapi, dan lainnya. Namun ada juga budaya yang non-fisik, bersifat abstrak. Sebab, berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti halnya budaya gotong royong, andhap asor (sopan santun), ketaaan kepada bhapa’, bhabbhu’, ghuru, rato ( ayah, ibu, guru, dan pemimpin).

Dalam catatan ini, saya fokuskan pada bagaimana kita bisa mewarisi peninggalan leluhur Madura dalam kaitannya dengan penerapan norma-norma agama dan sosial di tengah kehidupan masyarakat. Hal itu menjadi pegangan dalam mengarungi bahtera hidup. Lebih-lebih saat ini arus globalisasi memungkinkan beragam budaya luar yang sifatnya merusak bisa meracuni generasi muda Madura. Sudah saatnya, nilai-nilai luhur tersebut menjadi patokan utama dalam melangkah. Sebab, kehidupan ini tidak stagnan. Selalu berubah seiring berjalannya waktu. Sebagai warga Madura, kita dituntut untuk lebih cerdas dalam memilah dan memilih mana saja budaya luar yang patut ditiru dan dikembangkan. Mana yang harus dibuang jauh-jauh.

Selanjutnya, mengenai pengembangan budaya Madura, Dr. Kadarisman Sastrodiwirjo, M.Si, pernah memaparkan dalam bukunya yang berjudul Konye’ Ghunong: Persepektif Budaya dalam Pemerintahan. Mantan wakil bupati Pamekasan itu menyebutkan ada lima upaya dalam mengembangkan budaya Madura. Pertama, membangun kesepahaman bersama dan ketetapan hati. Kehendak untuk mengembangkan budaya Madura jangan hanya datang dari pemerintah, namun juga semua elemen perlu terlibat secara sungguh-sungguh. Kedua, menetapkan arah dan kebijakan pengembangkan yang jelas. Mengenai hal itu, memperahankan dan mengembangkan nilai-nilai budaya baik; seperti sopan santun, gotong royong, dan sebagainya.

Selain nilai budaya yang perlu dilestarikan, ada pula nilai budaya yang perlu reinterpretasi. Semisal, terhadap arit yang semula identik dengan kekejaman, oleh D. Zawawi Imron, budaya Madura, arit dijadikan simbol kemajuan, yaitu sebagai penebas ketertinggalan, kebodohan, dan kemiskinan, yang disebutnya clurit emas. Ketiga, mendirikan sebuah lembaga kebudayaan yang merupakan badan permanen. Dr. Kadarisman mengusulkan dibentuknya Pasemowan Buddhaja Aghung Madhura yang menangani kehidupan budaya Madura. Tugas lembaga tersebut yaitu menggali, menginventarisasi, mengkaji nilai-nilai lama yang masih relevan dengan perkembangan zaman untuk kemudian dihidupkan kembali di tengah masyarakat. Selain itu, untuk merumuskan nilai-nila baru guna mengantisipasi perkembangan zaman.

Baca Juga:  Menakar Ke-NU-an Mahfud MD

Keempat, menetapkan program penelitian dan pengembangan budaya Madura dan langkah yang sistematis dan berkelanjutan yang didukung dengan dana yang pasti. Kelima, menyelesaikan permasalahan yang timbul, seperti mencari titik temu mengenai perbedaan sudut pandang tentang seni di antara kelompok-kelompok masyarakat dan mengantisipasi, serta menghadapi budaya serba instan yang muncul.
Kelima upaya pengembangan budaya Madura itu juga pernah disampaikan oleh Dr. Kadarisman dalam Lokakarya Pengembangan Seni Budaya Daerah yang bertempat di Pendopo Agung Ronggosukowati, Pamekasan, pada 26 Maret 2014. Saya pribadi sepakat dengan ide-ide beliau. Dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya Madura, tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah. Sebab, berbicara mengenai budaya, berarti berkaitan dengan masyarakat sebagai unsur penting dalam kebudayaan itu sendiri. Lebih-lebih peran budayawan/seniman, akademisi, pengamat, dan pemuda, sangat diperlukan untuk merawat budaya Madura. Tidak cukup hanya berhenti dalam forum diskusi, seminar, atau kajian. Namun juga, tercermin dalam pengamalan keseharian. Utamanya generasi tua, yang patut memberikan contoh yang baik bagaimana menerapkan nilai-nilai luhur Madura dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai nilai-nilai luhur tersebut tergerus arus zaman yang kian deras.

Terakhir, hemat saya, masa depan budaya Madura ini ada di pundak masyarakat Madura. Khususnya generasi muda. Maka dari itu, milenial Madura diharapkan mulai belajar menerapkan nilai budaya tersebut dalam aksi nyata. Tidak hanya berkoar-koar di media sosial tapi tidak pernah selaras omongan dengan tindakannya. Buktikan kepada dunia, bahwa pemuda Madura bangga memiliki warisan budaya agung dari para leluhur. Kebanggaan tersebut mesti ditampakkan dalam ucapan dan perbuatan. Ke depan, tantangan yang akan kita hadapi semakin beragam. Mari bersatu padu dan bulatkan tekad dalam mewarisi ajaran luhur nenek moyang kita.

*) Penulis adalah mahasiswa Program Studi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya/Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi.