Pertama-tama, saya akan menyedorkan apa yang dikatakan Seno Gumira Adjidarma (SGA). Begini;
“Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya… kebenaran menyatu bersama udara.”
Apa yang SGA sampaikan bisa Anda baca di bagian muka buku yang dia tulis, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, 1997.
Saya ingin mendudukkan konteks tentang apa itu fakta dan apa itu kebenaran. Tentu, fakta dan kebenaran dalam konteks jurnalisme. Konteksnya begini;
Suatu ketika, ada seorang jurnalis di Kota P berencana melakukan liputan panjang dan mendalam tentang produksi rokok ilegal. Sebutlah si jurnalis berinisial M.
Dia menghabiskan waktu hampir tiga bulan. Lalu, dia menemukan informasi tentang kecamatan yang paling banyak memproduksi rokok ilegal.
Lalu, dia masuk ke kecamatan tersebut. Menemukan titik gudang produksi. M juga berhasil menunjuk hidung produsen utama rokok ilegal. Sebutlah si produsen ini berinisial H.
M juga menemukan fakta bahwa H adalah orang di balik layar beredarnya jutaan batang rokok ilegal.
Rokok ilegal milik H disebarkan melalui nama-nama orang lain–sebagai topeng–berinisial T, L, B, C, G dan seterusnya.
Jurnalis M juga menelusuri ke mana peredaran rokok ilegal itu. Termasuk modus pengirimannya. M juga berhasil mendata nama dan jumlah merek rokok ilegal milik H.
Termasuk, M menemukan data dari berbagai sumber terpercaya bagaimana proses pengirimannya ke luar kota dengan membayar oknum tenaga keamanan agar aman. Termasuk bukti rekening dan rekam percakapan telepon.
M juga menemukan modus pengamanan melalui jasa ekspedisi dan nominal bayarannya. Hampir semua hal M temukan dalam tiga bulan.
Singkat cerita, M menuntaskan segala fakta tentang rokok ilegal itu. M mengurai fakta-fakta itu. Memetakan alur dari hulu ke hilir. Dari produsen sampai kepada konsumen. Termasuk bagaimana perputaran uangnya dan berapa kerugian negara.
Segebuk data itu dibawa oleh M ke kantornya pada hari Kamis. M berembuk dengan redakturnya untuk menerbitkan berita itu pada hari Senin.
Sayangnya, di sisi lain, liputan yang dilakukan M selama tiga bulan tersiar ke mana-mana. Banyak orang menelepon M. Termasuk tangan kanan dan tangan kiri H. Termasuk kaki kanan dan kaki kiri H.
Rekan-rekan M di kantor keamanan juga menelepon. Teman-teman jurnalis di lingkaran M juga mengajak M lebih berkompromi dan membatalkan penerbitan berita.
Orang utusan H menawarkan segepok uang. Berniat menukarnya dengan segebuk data yang telah tiga bulan dikumpulkan M.
M juga diancam keselamatannya. Istri M juga diancam kesalamatannya. M berpikir, tidak ada berita seharga nyawa.
Singkat cerita, fakta-fakta yang ditemukan M ditunda terbit menjadi berita karena satu dan seribu alasan.
Fakta yang ditemukan jurnalis M akhirnya tertutup oleh abu. Fakta rokok ilegal ditutup dan tertutupi di media massa sampai saat ini.
Fakta-fakta yang ditemukan jurnalis M diembargo, ditutup dengan tinta hitam dan ancaman dan sebagainya.
Itulah–konteks yang saya uraikan di atas– yang dimaksud SGA, bahwa fakta bisa ditutupi.
Tetapi, kebenaran tidak. Kebenaran muncul dengan sendirinya. Kebenaran menyatu bersama udara. Hasil liputan M yang tertunda terbit tersebar dari mulut ke mulut.
Kebenaran bahwa H adalah produsen rokok ilegal menyatu bersama udara. Di warung kopi ramai bahwa H produsen rokok ilegal. Di toko-toko, di gedung pemerintahan, di gedung partai, dan seantero Kota P kerap membincangkan tentang H.
Kebenaran itu muncul dengan sendirinya. Walau tanpa berita. Kebenaran menyatu bersama udara. Terbang di udara. Semua orang mengetahui tentang H dan rokok ilegal.
Kebenaran menyatu bersama udara. Udara dihirup. Keluar kata-kata dari mulut ke mulut bagaimana H dan kekayaannya.
Orang berbisik-bisik tentang H, tentang rokok ilegal. Orang-orang secara diam-diam juga bekerja kepada H.
Orang-orang yang bekerja kepada H juga bercerita kepada orang-orang yang lain. Kebenaran menjadi semakin menyatu bersama udara, dan sungguh menyatu bersama udara. Kini H dan rokok ilegal bagian dari rahasia dan kebenaran umum yang menyatu bersama udara.
Pun, misalnya dalam kasus dan konteks perkara lain.
Suatu ketika, ada seorang jurnalis berinisial H datang ke sebuah kantor organisasi guru di Kota S.
Begitu sampai di kantornya, si kepala organisasi ini bersembunyi. Stafnya keluar dan berkata kepada jurnalis H, “Bapak sedang keluar.”
Fakta bahwa si kepala organisasi ada di kantornya memang bisa ditutupi dengan mudah. Tapi sayang sekali, kebenaran menyatu bersama udara.
Suatu hari tanpa disengaja, si staf bercerita tentang kebenaran kepada rekannya bahwa sang kepala kerap bersembunyi dan berbohong begitu ada jurnalis datang.
Cerita sang staf menyebar ke mana-mana dan menyatu bersama udara.
Akhirnya, kebenaran muncul di udara. Semua orang akhirnya tahu bahwa si kepala organisasi suka berbohong kepada jurnalis.
Dan…, Anda bisa melihat bagaimana fakta ditutupi tetapi kebenaran menyatu bersama udara dalam kasus-kasus lain.
Saya pun berpikir, bahwa pada akhirnya, kebenaran tidak muncul dalam sebuah berita. Kebenaran tidak muncul dalam forum-forum resmi. Kebenaran tidak muncul dalam pidato-pidato. Kebenaran bisa tidak muncul di kantor-kantor yang seharusnya menegakkan kebenaran, dan kebenaran tidak muncul bebas sebagai kebenaran.
Kebenaran hanya muncul dan menyatu bersama udara, di sela-sela bisikan kecil, di sela-sela telinga dengan suara yang lirih hampir tak terdengar.
Saya selalu ingat kata-kata SGA, “Menutupi fakta adalah tindakan politik. Menutupi kebenaran adalah perbuatan paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di muka bumi ini.”
Jadi, jika Anda tidak bisa berbicara apa yang benar melalui media massa, setidaknya Anda tidak perlu berbicara yang salah untuk dianggap benar di media massa.(*)
_____
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media Jatim dan Ketua Forum Wartawan Pamekasan.