PERIODE II

Polarisasi Pers yang Mengancam Demokrasi

Media Jatim
Tulisan Ongky Arista UA
Ongky Arista UA

Polarisasi Pers

Pers harus independen sebagaimana dalam kode etik jurnalistik. Namun, akhir-akhir ini, pers rasanya kok menjadi tidak independen.

Pers kerap diposisikan–atau mungkin sengaja memposisikan dirinya–bak partai politik di Madura. Ada semacam kelompok dan pengelompokan; pers koalisi dan oposisi.

Pers koalisi adalah kelompok media yang berada di kubu pemerintah secara tidak terang-terangan–atau berada di kubu-kubu organisasi dan kelompok kepentingan tertentu.

Kelompok ini biasanya tidak berposisi sebagai tukang kritik pemerintah dan kelompoknya. Mereka umumnya memberitakan realisasi program pemerintah dan umumnya pula, golongan ini memberi panggung pencitraan kepada pemerintah dan golongannya.

Pekerja pers di kelompok ini kerap dan berusaha memandang segala kebijakan pemerintah dari sisi yang selalu positif. Dan, bila ada penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah dan golongannya, maka golongan pers ini cenderung pasif dan bungkam.

Biasanya, golongan ini berikut partisannya “dipelihara” oleh pemerintah dengan ikatan kerja sama advertorial; kerja sama publikasi berbayar dan kerja sama bentuk lain. Dan, media di golongan ini biasanya terjebak pada status quo.

Sementara pers oposisi adalah golongan sebaliknya, yang bersikap korektif dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah–atau kritis terhadap pihak lain yang bukan golongannya.

Kelompok ini kerap melihat pemerintah sebagai obyek kritik yang harus dikontrol habis-habisan.

Di kelompok ini, pers cenderung mengabaikan acara-acara pemerintah yang seremonial penuh pencitraan. Mereka cenderung berkacamata kritis dan menelusuri kebijakan yang menyimpang.

Mereka dan partisannya memposisikan diri sebagai kontrol dan pemantau kekuasaan. Dan, golongan ini kerap “tidak dipelihara” oleh pemerintah dengan kerja sama advertorial karena dianggap menginterupsi kondusifitas.

Fenomena dua kelompok ini saya sebut sebagai polarisasi pers–lahirnya dua kelompok pekerja pers yang posisinya berlawanan.

Polarisasi semacam ini salah satunya lahir karena tangan dingin pemerintah dan tim humas yang memakai model kemitraan dengan cara memelihara perusahaan pers yang beritanya positif dan memarjinalkan pekerja pers yang produk beritanya kritis.

Dan hal lain yang mendorong polarisasi ini adalah arus politik dan arus sentimen.

Efek Polarisasi Pers

Efek samping polarisasi ini adalah dikotomi produk pers. Masyarakat akhirnya hanya menilai bahwa berita itu selalu dikotomis; kalau tidak positif ya negatif; kalau tidak kritik ya pencitraan; kalau tidak baik ya buruk; kalau tidak koalisi ya oposisi.

Polarisasi ini memiskinkan pengetahuan dan perspektif publik tentang pers. Orang hanya akan melihat pers itu terkotak dua; di kubu A atau kubu B. Di pahak sana atau pihak sini.

Dikotomi ini pada ujungnya mendorong lahirnya gab atau kesenjangan antarkelompok pekerja pers. Dan parahnya, kesenjangan ini akan melahirkan atensi pemberitaan dan headline berita menjadi berbeda-beda.

Satu kelompok pekerja pers mengatensi kasus sertifikat tanah gratis namun berbayar, satu kelompok lagi mengatensi kasus pemukulan seorang tukang sapu, satu kelompok lagi mengatensi PKL dan satu lagi mengatensi kendaraan dinas pemerintah yang menunggak pajak.

Baca Juga:  Satpol PP Pamekasan Patroli ke Warung Makan dan Taman selama Ramadan 2024

Kelompok lain lagi mengatensi mark up anggaran pemeliharaan gedung dewan, kelompok satunya lagi mengkapitalisasi pemberitaan operasi pasar murah dan seterusnya begitu–selalu ada perbedaan atensi dan arah headline pemberitaan.

Perbedaan ini tentu bisa dinilai dan kita anggap sebagai sesuatu yang lumrah. Kita bisa berdalih setiap redaksi memiliki corak atau tipologi liputan yang berbeda. Namun, perbedaan produk pers di masing-masing media ternyata tidak seklise itu.

Ceruknya adalah polarisasi di atas. Munculnya gap antarkelompok pekerja pers ini telah melahirkan pemberitaan yang berbeda-beda dan pengawalan isu utama yang berbeda-beda.

Diversifikasi liputan utama pemberitaan akhirnya tidak melahirkan apa yang dianggap penting. Publik tidak bisa melihat apa yang benar-benar genting dan penting sebab isu tertentu hanya dikawal oleh media tertentu.

Pada saat isu tertentu hanya dikawal oleh media tertentu maka jelas bukan sekonyong-konyong perbedaan arah redaksi, tetapi lebih dari itu, yakni terpolarisasinya pers.

Misal di Kabupaten Sampang beberapa hari terakhir ini, terjadi polarisasi pers yang begitu “vulgar”.

Saat sejumlah kelompok media mengawal korban dugaan intimidasi elit politik yakni Pj Kades Ragung, Kecamatan Pangarengan Irham Nurdayanto, namun justru muncul kelompok pekerja pers yang menerbitkan berita yang menuding Irham sebagai pembuat hoaks dan telah membuat kegaduhan.

Polarisasi ini tidak bisa tidak disebut berbahaya bagi citra pers dan jalannya demokrasi kita. Polarisasi ini telah mengaburkan apa yang seharusnya layak dan paling layak dikawal dan dipahami oleh publik.

Kasus lain misalnya, beberapa bulan lalu mediajatim.com sempat diprotes oleh seorang petinggi kampus karena menulis aksi plagiasi di kampusnya.

Pihak kampus merasa berhak memprotes karena mediajatim.com berada dalam grup WhatsApp kemitraan insidentil kampus tersebut.

Dan jika tidak salah ingat, hanya mediajatim.com yang mengawal pemberitaan itu di antara deretan media lain yang bermitra dan berada di grup kampus tersebut.

Pola-pola kemitraan yang mensyaratkan pembungkaman kasus dan penyimpangan semacam ini juga telah melahirkan polarisasi; yang bermitra pasti diam dan yang tidak bermitra pasti berisik.

Polarisasi ini pada ujungnya pula akan melahirkan konsepsi umum bahwa yang diam pasti bermitra dan yang berisik pasti tidak bermitra. Sebab itulah mediajatim.com keluar dari mitra kampus tersebut.

Kampus tempat orang berjubah profesor dan katanya tempat para kritikus dilahirkan telah ikut berdosa menciptakan model-model kemitraan yang mensyaratkan pembungkaman ini.

Sebab, kemitraan di mana pun itu haruslah dibangun secara terbuka dan kritis; yang salah tidak masalah dikontrol pers dan yang baik tidak menjadi beban untuk diberitakan.

Baca Juga:  Greg: Kemenangan Ini untuk Suporter Madura

Konsepsi yang Harus Dipahami

Dalam kode etik jurnalistik, pada pasal 1 sudah jelas, bahwa wartawan Indonesia wajib bersikap independen.

Independen itu artinya tidak berafiliasi ke pihak mana pun. Menerbitkan berita yang memang layak diberitakan, baik obyeknya adalah mitra perusahaan atau tidak.

Berita harus lahir sebagai berita yang layak berita. Berita layak itu tidak lahir karena dorongan pihak mana pun dan kelompok mana pun.

Dapur redaksi harus memiliki analisis yang kuat untuk melihat apakah berita yang akan diterbitkan itu tendensius, pesanan orang tertentu atau memang layak menjadi berita.

Sekali lagi, berita harus lahir sebagai berita, bahwa berita yang terbit memanglah layak untuk diterbitkan sehingga tidak ada lagi pertanyaan “Mengapa media ini memberitakan ini?”

Publik harus dibuat yakin bahwa media memegang teguh prinsip independen, dan setiap berita yang terbit itu karena memang layak diterbitkan–secara independen–dan bukan pesanan seseorang dan bukan karena bermitra atau tidak bermitra.

Apa saja unsur isu yang bisa disebut layak untuk diberitakan?

Di antaranya; isu yang aktual; yang dekat dengan kehidupan masyarakat; isu pejabat dan tokoh publik; isu yang berdampak luas; human interest; konflik; seks; kebijakan-kebijakan baru; berpengaruh untuk umum; penting; penyimpangan; hukum dan kriminalitas.

Penguatan Independensi sebagai Jalan Pembebasan

Saya kira, polarisasi inilah masalah yang paling esensial hari ini di Madura. Di Hari Pers Nasional (HPN) 2024, spirit yang harus dijunjung tinggi adalah independensi.

Independensi ini saya kira bisa menjadi jalan pembebasan atas polarisasi pers selama ini. Pekerja pers, kelompok pekerja pers harus kembali menengok kode etik jurnalistik.

Pembebasan ini bisa dimulai dari kelompok pekerja pers itu sendiri. Pekerja pers harus memposisikan setiap naskah berita di posisi yang memang layak berita.

Dan, instansi publik harus melepas model-model kemitraan yang membelenggu dan model-model yang membungkam.

Jangan sampai ada syarat kemitraan yang berisi sebuah kewajiban bahwa pemerintah atau instansi harus ditulis “baik-baiknya saja”, sebab, itu akan melahirkan polarisasi dari generasi ke generasi pekerja pers.

Model kemitraan harus kritis terarah, baik namun layak dan masuk akal, sebab, pers tidak hanya bekerja untuk keperluan kemitraan, lebih dari itu, juga sebagai pemantau jalannya kekuasaan.

Dan, saya yakin, hari ini, banyak sekali hal yang belum dipantau pers dan tidak muncul kepermukaan, dan publik tidak mengetahui itu karena sejumlah instansi bermitra dengan media tidak dalam kemitraan yang terbuka dan kritis.(*)

Selamat Hari Pers Nasional 2024.
_____
*Ongky Arista UA
Pemred Media Jatim sekaligus Ketua Forum Wartawan Pamekasan