Bangkalan, mediajatim.com — Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menggelar rapat senat terbuka pengukuhan Rektor UTM Dr. Safi’, S.H., M.H., sebagai guru besar di bidang hukum perundang-undangan di gedung pertemuan R.P. Mohammad Noer UTM, Selasa (24/12/2024).
Pengukuhan dipimpin ketua diikuti anggota senat UTM. Pengukuhan Prof. Safi’ ini menggenapi jumlah guru besar UTM menjadi 24 orang.
Usai dikukuhkan dan menyampaikan pidato, Prof. Safi’ bercerita, bahwa 24 tahun lalu dirinya sempat menjadi khadam selama 8 tahun menganyam pendidikan dan nyantri di Pondok Pesantren Attaufiqiyah di Desa Aengbaja Raja, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep.
Prof. Safi’ sempat menangis menceritakan perjuangannya menempuh pendidikan yang baginya tidaklah mudah.
Prof. Safi’ membeberkan, dirinya lahir dari keluarga yang kurang mampu. Dia sempat menganggur empat tahun setelah lulus sekolah dasar lantaran orang tuanya tidak mampu menyekolahkan ke jenjang SMP.
“Saya ingat betul saat itu, tapi saya tidak pernah menyerah, dan sampai saat ini saya selalu pegang teguh dan tidak pernah berhenti menjadi orang baik,” paparnya.
Kata Prof. Safi’, menjadi guru besar tidak pernah terpikirkan di benaknya. Bahkan diimpikan pun tidak. Dia menyadari kendala ekonomi yang melilitnya tidak bisa membuatnya banyak mengimpikan sesuatu.
Bahkan, banyak yang tidak menyangka dan menduga, mantan tukang bangunan dan penyabit rumput semasa SD itu mampu menjadi guru besar.
“Saya juga menyampaikan banyak terima kasih kepada KH. Imam Hasyim dan Hj. Jamilah Siradj, serta M. H. Said Abdullah yang telah banyak sekali berkontribusi pada proses pendidikan saya,” tuturnya.
Prof. Safi’ Singgung Urgensi Judicial Review ke MK
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Safi’ juga memaparkan urgensi penyatuan kewenangan pengujian perundang-undangan–judicial review–kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Menurut Prof. Safi’, ada dua konsep dan tawaran solusi untuk menyatukan kewenangan judicial review ke dalam Mahkamah Konstitusi.
Pertama, dengan melakukan amandemen rumusan ketentuan Pasal 24A, Ayat (1) dan Pasal 24C, Ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, dengan mengeluarkan kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk menguji peraturan di bawah UU terhadap UU dan memasukkannya sebagai kewenangan MK.
“Tapi karena amandemen ini mungkin sulit karena berbenturan dengan banyak kepentingan politik, maka ada solusi lain,” jelasnya.
Solusi kedua, lanjut Prof. Safi’, yakni melakukan penafsiran MK berkaitan dengan kata Undang-Undang dalam Pasal 24C, Ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945 sebagai wet in materiele zin, yang meliputi undang-undang dan seluruh jenis peraturan perundang-undangan di bawahnya.
“Kedudukan pengujian peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan RI pada hakikatnya sebagai bentuk kontrol normatif dalam negara hukum, sebagai bentuk check and balance sistem dalam penyelenggaraan negara, dan sebagai instrumen perlindungan HAM,” ulasnya.
Politik hukum pemisahan kewenangan judicial antara MK hanyalah didasari oleh alasan teknis-praktis semata. Yaitu karena MA sebelumnya sudah memiliki kewenangan tersebut.
Padahal, seharusnya politik hukum dan kebijakan hukum bersifat strategis untuk kepentingan bangsa dan negara.
“Pemisahan kewenangan judicial review tidaklah tepat. Sehingga ke depan harus diintegrasi dan di bawah Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui perubahan atau penafsiran Pasal 24A, Ayat (1) dan Pasal 24C, Ayat (1) NKRI tahun 1945,” tutupnya.(hel/ky)