Oleh: Cak Lil*
Berbicara kebebasan dan keleluasaan dalam berfikir di dalam bertindak. Jawabannya adalah kehidupan dunia kampus. Banyak kita temukan berbagai macam karakter mahasisiwa mulai dari hidonis, pragmatis dan primitif-pun juga ada. Selain itu kampus tidak selalu menjanjikan sebuah kehidupan yang harmonis di dalamnya, pasti selalu ada konflik atau problematika, Kalau kata anak sekarang “gak ada komplik, ya gak menarik“ candaan yang sering kita dengar.
Namun saya tidak ingin panjang lebar membahas apa, dan siapa mahasiswa itu sendiri?, sekarang ayo kita coba memahami antropologi kampus seperti apa? Adapun yang sudah kita ketahui, sebagian kecil mahasiswa merasa tersesat di dalam memilih kampus dan memilih jurusan atau prodi pun begitu. Bukan hanya tersesat soal pendidikan internal saja. Tapi, terkadang dalam menentukan organisasi pun selalu bermasalah. Karena masih banyak kampus-kampus umum yang masih berafiliasi pada gerakan radikal. Sasaran yang jadi busur anak panahnya tidak lain mahasiswa baru. Selain masih polos dan belum berwawasan luas, mereka selalu jadi bahan masakan lezat terhadap aliran-aliran paham radikal dalam kampus manapun.
Gerakan radikalisme yang berpikiran tekstualis atau kanan, mereka mempunyai rasa kontra terhadap idiologi pancasila, pasalnya anggapan mereka pancasila dinilai tidak ada hubungan dengan Islam, dan memaksakan Kilafah Islamiyyah menjadi dasar negara. Padahal kalau kita perdalam lagi, 5 nilai yang terkandung dalam pancasila semuanya sudah terdapat dalam Al-Quran. Sedangkan Khilafah yang menurut mereka dapat membawa pada kejayaan Islam. Memang tidak ada dalam Al-Quran sumber hukum primer yang memerintahkan harus mendirikan birokrasi Islam.
Sejak dibubarkanya Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2017 lalu, dengan Perppu UU No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas yang di anggap anti-pancasila. Ternyata mereka hanya bubar secara organisasi, tapi tidak dengan paham dan gerakannya. Masih sangat banyak kader-kader mereka yang menyusup dan membuat organisasi baru dengan nama atau istilah yang berbeda. Garakannya itupun tidak hanya ruang lingkup masyarakat biasa, akan tetapi mahasiswa pun juga menjadi alat untuk menyebar luaskan paham Radikal-nya.
Kalau boleh mengutip dari Buku Cyber NU; beraswaja di era digital. Di situ terdapat catatan dari Badan Intelejen Negara (BIN) pada 2017 mencatat sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Direktur pencegahan badan nasional penanggulanngan terorisme (BNPT) Hamli mengatakan, hampir semua Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme. BNPT membeberkan Universitas indonesia (UI), Institut Tekhnolgi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip) , hingga Isntitup Teknologi Sepuluh Novemper (ITS) , Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) sudah disusupi paham radikal.
Dari data di atas kita dapat mereka-reka sendiri kondisi antropologi kampus sekarang seperti apa, lebih baik atau sebaliknya. Jika di biarkan tanpa ada penanganan husus dari pemerintah atau dari pihak kampus untuk memfiltrasi, lebih husus yang gerakannya fundamentalis dan libralis. Maka itu sangat berpengaruh pada regenerasi anak-anak bangsa dan masa depan bangsa kita sendiri.
Sebenarnya masih banyak juga organisasi ekstra kampus (ORMEK) yang masih bisa di jadikan tempat berpersoses bagi mahasiwa, atau lebih tepatnya mahasiswa baru. Seperti Pegerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII), Pimpinan Komisariat Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PKPT IPNU IPPNU), Ikatan Mahasiswa muhamaddiyah (IMM) Himpunan masiswa islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasoinalis Indonesia (GMNI). Semuanya itu adalah ORMEK yang masih di anggap steril dan bisa di jadikan tempat berorganisasi dan di berikan perizinan oleh pemerintah.
Kalau boleh terus terang di kampus manapun yang gerakannya mempunyai paham radikal, ternyata tidak hanya dimobilisasi oleh mahasiswa saja, akan tetapi dosen-pun juga ikut andil di dalamnya. Selain mereka punya kekuatan eskternal, tapi juga punya kekuatan internal. Jadi sangat gampang sekali proses dalam membentuk strategi di setiap gerakannya. Tidak perlu diherankan jika masih ada paham radikal, khususnya di kampus umum yang sering banyak kita jumpai.
Sangat Perlu untuk kita pantau dan awasi bersama, untuk mencegah maraknya paham radikal. Pimpinan kampus harus mampu berperan dalam mengontrol di setiap fasilitas kampus seperti Musholla, Islamic Center, Masjid dan intinya yang sering dijadikan atau digunakan tempat keagamaan. Tanpa ada penanganan seperti itu maka sangat gampang sekali kampus di masuki paham-paham radikal.
*) Ketua PKPT IPNU dan Aktivis PMII Komisariat Universitas Trunojoyo Madura.