MEDIAJATIM.COM | Jember – Kegigihan Mohammad Kholili dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) akhirnya memantik penghargaan. Sekretaris Aswaja NU Center Jember itu menerima penghargaan “Hasan Wirajuda Perlindungan WNI Awards (HWPA) Tahun 2021 untuk Kategori Masyarakat Madani”. Penghargaan bergengsi itu disampaikan secara daring oleh Kementerian Luar Negeri RI dalam acara Malam Penganugerahan HWPA tahun 2021, Jumat (17/12/2021) malam.
Dalam surat eletronik yang diterima Ustadz Kholili, sapaan akrabnya, disebutkan bahwa penghargaan tersebut merupakan wujud apresiasi pemerintah terhadap individu/lembaga pegiat isu perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Dari 90 kandidat yang diusulkan oleh pemangku kepentingan, Dewan Juri telah menetapkan 26 pemenang yang terdiri atas individu dan institusi di dalam dan luar negeri.
“Penetapan (penghargaan) tersebut antara lain didasarkan pada kontribusi Sdr. Mohammad Kholili dalam mendukung pelaksanaan tugas perlindungan WNI di luar negeri,” demikian bunyi surat itu.
Ustadz Kholili sendiri cukup lama berkecimpung di dunia ketenagakerjaan, khususnya di bidang perlindungan PMI. Katanya, PMI yang dulu dikenal dengan nama Tenaga Kerja Indonesia (TKI) itu mengalami banyak masalah, mulai dari tindak pidana perdagangan orang, gaji tidak dibayar, beban biaya melampaui yang ditetapkan pemerintah (over charging), deportasi musiman, kekerasan, penyiksaan, dan hingga yang terjelek mengalami kematian.
Ia berjuang untuk PMI melaui jalur kebijakan dan aksi lapangan. Terkait kebijakan, Ustadz Kholili menggagas lahirnya Perda Pelindungan PMI di Kabupaten Jember (2008). Demikian juga di level provinsi (Jawa Timur), ia menginisiasi dan menjadi tim pembuat Perda Perlindungan PMI (2021).
“Karena mamang banyak sekali persoalan yang menimpa PMI, dan itu tidak cukup hanya diserahkan kepada pemerintah,” jelasnya.
Di luar itu, alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Kalisat Kabupaten Jember itu juga memberikan perlindungan kepada PMI dengan pendekatan agama. Hal ini dilakukan dengan harapan agar bisa mempengaruhi para PMI dan pihak-pihak yang terkait dengan kerja para penyumbang devisa non migas tersebut. Misalnya, ia membawa dalam forum Bahtsul Masail tentang beban biaya yang berlipat (over charging) pada PMI, yang diselenggarakan oleh PWNU Jatim di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Persoalan biaya berlipat dan beberapa persoalan lainnya juga dibahas forum Bahtsul Masail di PCNU Jember. Sebagai Sekretaris Aswaja NU Center, ia cukup aktif di mengikuti forum-forum Bahtul Masail di lingkungan PCNU Jember.
“Memang yang kerap menjadi sorotan adalah soal over charging, ini sangat memberatkan. PMI sering kali masih dipungut biaya ini dan itu. Awalnya dibilang gratis, tanpa biaya, tapi setelah sampai di negara tujuan, gajinya dipotong untuk melunasi hutang yang tidak diketahuinya,” jelas Ustadz Kholili.
Selain bergerak di level kebijakan, Direktur Migrant AID Indonesia itu, juga turun langsung memberikan advokasi kepada mereka yang menjadi korban akibat kesewenang-wenangan majikan maupun pihak-pihak terkait.
“Intinya siapapun PMI yang mempunyai masalah, apakah tidak dibayar, manjadi korban kekerasan, tidak bisa pulang, dan sebagainya kita bantu,” ujarnya usai menerima a ecara daring di kediamannya, Kelurahan Sempusari, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember Jawa Timur, Jumat (17/12/2021) malam.
Apa yang diungkapkan Kholili bukan pepesan kosong. Di daerah-daerah yang warganya kerap bermasalah terkait dengan PMI, nama Ustadz Kholili cukup populer. Beberapa bulan lalu, di Jember terdapat seorang PMI di Malaysia yang telah empat tahun hanya bisa tidur di rumah seorang majikan. Namanya Misnati, Awalnya dia jatuh, namun tidak mendapatkan pengobatan yang memadai sehingga jatuh strtoke, dan hanya diam di tempat tidur. Majikannya kurang bertanggungjawab. Alih-alih membayar gajnya sebagai pembantu rumah tangga, sang majikan malah membebaninya hutang selama hidup tanpa kerja akibat stroke.
“Ibu saya bisa pulang asalkan membayar Rp35 juta,” ujar anaknya, Fathurrahman di Jember, Jawa Timur.
Tentu saja Fathurrahman sangat kesulitan untuk memenuhi tuntutan itu. Namun akhirnya, ia dipertemukan dengan Ustadz Kholili. Dan atas usahanya, 4 bulan kemudian sang ibu boleh pulang tanpa biaya sedikitpun.
“Memang menjelang kepulangan ibu, ada beberapa telepon yang masih ngotot minta 15 juta, 10 juta, tapi begitu saya sebut nama Ustadz Kholili, eh dia langsung menutup teleponnya,” urainya.
Reporter: Aryudi A Razaq
Redaktur: Zul