Reformasi 1998, telah mengantarkan Indonesia memasuki era politik yang terlampau bebas, lepas, bablas, serta membuat politik negeri ini terus ricuh dan sulit ‘move up’.
Kekerasan atas nama agama menjadi kebal hukum. Tirani mayoritas terhadap minoritas, intoleransi, radikalisme, rasisme yang berbuntut terorisme makin merebak, tumbuh subur di mana-mana.
Banyak tokoh yang dalam anggapan sementara orang dinilai pintar, kritis dan bijaksana, ternyata telah menjadi pribadi yang tampil menjadi provokator, penebar kebencian, isu sara dan ujaran kotor penuh kebencian.
Nafsu politik yang bertujuan demi kepuasan sesaat, ambisi untuk berkuasa atau keinginan agar dekat dengan penguasa telah menggrogoti mental dan cara berfikir rasional mereka hingga tak mampu berfikir secara sehat.
Yang patut disayangkan adalah jutaan rakyat Indonesia yang begitu mudahnya terprovokasi. Sungguh naif, malah banyak yang terseret pada opini menyesatkan, seperti terhipnotis. Dengan mudahnya, masyarakat kita percaya fitnah dan hoax itu sebagai kebenaran yang nyata.
Cara-cara kotor ini klimaksnya terjadi saat Presiden Joko Widodo mencalonkan diri sebagai presiden dan berlanjut hingga pencalonan Ahok sebagai Gubernur Jakarta. Buya Syafii Maarif, tokoh cendikia yang kredibilitasnya tidak diragukan terutama di kalangan organisasi Muhammadiyah pernah mengatakan; “Pilpres 2014 adalah pemilu paling ‘najis’ dalam sejarah Indonesia.” Ternyata eksesnya berlanjut walau pemilu musim lalu telah usai, bahkan terjadi hingga sekarang, tidak hanya di Jakarta saja yang banyak menyedot sorot mata.
Beredarnya berita-berita hoax bermuatan fitnah politik baru-baru ini, lewat beberapa rekaman suara yang menerpa pasangan BERBAUR (Bersama Ra Baddrut Tamam dan Raja’e) dalam bursa pilkada Pamekasan, adalah preseden buruk bagi kancah perpolitikan di kabupaten yang berjuluk Kota Gerbang Salam itu.
Padahal menurut para ahli, pemimpin yang baik, amanah, jujur, bersih, mengayomi, penyambung aspirasi rakyat dan bertanggung jawab, adalah pemimpin yang dihasilkan dari suasana demokrasi dalam proses politik dengan tetap menjaga etika, sejuk, damai dan beradab.
Fitnah politik, hoax dan penggiringan opini yang menyesatkan yang dimaksudkan untuk merugikan salah satu pasangan calon secara elektoral oleh oknom-oknom gelap, adalah cara-cara kotor yang jauh dari rasa sens of responsibility. Bagaimanapun, black campaign merupakan kejahatan politik yang harus menjadi musuh bersama dan menjadi perhatian serius bagi penyelenggara pilkada.
Fitnah keji berbentuk rekaman penuturan yang hingga kini beredar melalui akun medsos tersebut, seakan meragukan loyalitas dan ketawadlu’an RBT kepada almamaternya; Pondok Pesantren Bata-Bata.
Padahal, meski menjadi alumni ia tetap menjalin komunikasi yang baik dan bersilatur rahiem dengan guru dan masyayikh yang ada di sana. Tidak hanya itu, dalam rekaman tersebut juga seakan-akan meragukan RBT sebagai alumni yang pernah nyantri di Pondok Pesantren Bata-bata.
Sedangkan, ijazah sebagai bukti fisik yang diserahkan kepada KPUD pada saat mendaftarkan diri, sangat jelas menunjukkan bahwa ia menempuh pendidikan MTs hingga MA di Pondok Pesantren yang kini sedang menggelar acara “Pekan Ngaji III” tersebut. Di situ tertera bahwa ia lulus dengan ijazah MTs tertanggal 23 Mei 1992 dan ijazah MA tertanggal 24 Mei 1995.
Berarti, enam tahun lamanya ia menuntut ilmu di salah satu Pondok Pesantren tertua di Pamekasan itu, sebelum melanjutkan ke pesantren lain dan akhirnya menempuh kuliah di sebuah Perguruan Tinggi yang ada di Malang.
Hingga kini ia tetap sering berkunjung ke Maqbarah para masyayikh di Pondok Pesantren tempat ia menyelesaikan sekolah MTs dan MA-nya tersebut dengan maksud untuk berziarah dan mendoakan arwah para al-Marhumin yang terdiri dari para masyayikh dan keluaga besar pengasuh. Ghafarallaahu lahum, wa yu’li darojaatihim fil jannah, amin!
Itulah satu dari sekian banyak fitnah-fitnah yang menjalar di masyarakat. Semua itu, mampu dihadapi oleh RBT dan seluruh timnya dengan penuh kesabaran, tanpa melakukan respon dengan sikap-sikap yang reaksioner dan arogan.
Sikap dewasa dalam berpolitik tersebut mengingatkan saya kepada untaian kata-kata hikmah yang tertuang dalam kitab al-Muntakhabat ; “as-shabru miftahul faroji”, yang artinya bahwa “kesabaran adalah kunci kelapangan jiwa”. Sehingga cukup dengan kesabaran, RBT bersama timnya dapat menghadapi ujian ini dengan tetap santun dan andhap asor.
Bukan berarti tiada keberanian untuk menyikapi, tetapi dengan kesabaran itulah RBT beserta tim BERBAUR justru mampu menunjukkan keberanian. Sikap berani tidak selalu harus ditunjukkan dengan reaksi yang mengarah pada sikap arogansi. Karena dalam kitab al-Muntakhabat, juga disebutkan ; “as-shabru syajaa’atun”, yang mengandung arti bahwa kesabaran adalah sebenar-benarnya keberanian, tanpa harus ditunjukkan dengan sikap marah serta kekanak-kanakan.
Di sinilah kelebihan RBT dan pendukungnya, semakin bertambah fitnah yang harus diterima, semakin bertambah pula kematangan sikap dan mentalnya dalam berpolitik. Hal itu ditunjukkan dengan semakin bersatunya sendi-sendi kekuatan tim dan para pendukung, merapatkan barisan untuk merebut estafet perjuangan dan kepemimpinan.
Akhirnya, nasihat-nasihat dalam kitab al-Muntakhabat semakin relevan untuk diamalkan. Khususnya kata-kata bijaksana yang mengajarkan ; “al-ittihaadu quwwatun” (persatuan adalah kekuatan).
Faktanya, segenap jaringan BERBAUR hingga saat ini tetap bersatu. Politik pecah belah melalui provokasi rekaman berisi hoax dan fitnah justru semakin memperbesar daya politis dan kekuatan suara. Salut yang begitu dalam saya sampaikan. Wallaahu a’lam…
*) Penulis adalah pegiat diskusi politik dan strategi perubahan, putera Pamekasan.