Judul: Merawat Nalar ala Santri
Penulis: Dr. H. Moh. Syaeful Bahar, M.Si
Editor: Taufik Hidayat
Penerbit: CV Licensi
Cetakan: 1 Agustus 2021
Hal: xxviii + 276
Ukuran: 14 cm x 20 cm
ISBN: 978-623-6894-79-8
Peresensi: Hayi Abdus Sukur*
***
Menawarkan nalar alternatif ala santri sebagai benteng moderasi berbangsa, saat ini menemukan legitimasi, di tengah gencarnya logika “mainstream” yang menerobos ke dalam ruang kehidupan beragama, sosial, budaya, politik, baik skala lokal maupun nasional. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, logika mainstream ini kemudian menguasai ruang-ruang private secara liar dengan menyuguhkan ragam informasi yang tak jarang mendistorsi fakta. Perlu dimafhum, era disrupsi informasi dewasa ini, semua orang bebas memproduksi sekaligus menyampaikan informasi tanpa memerlukan izin resmi.
Hadirnya santri dengan khas nalar moderasi menjadi menjadi “oase” tersendiri di tengah ancaman disintegrasi. Tentu kata “santri” disini merujuk kepada santri yang terlahir dari rahim pesantren nusantara dengan beberapa ciri khas epistemologi berpikirnya.
Adapun kriteria santri yang dimaksud di atas memiliki ciri khas di antaranya: Pertama, pemahaman dasar tentang agama merujuk pada teks keagamaan yang tersambung sanadnya hingga Rasulullah SAW. Kalaupun santri ini tidak memahami secara komprehensif terhadap disiplin ilmu keagamaan tertentu, masih mempunyai rujukan berupa pendapat, sikap dan perilaku ulama, kiai dan ustaz sebagai pembimbing yang memiliki akar keilmuan di pondok pesantren dan tak diragukan lagi wawasan dan sanad keilmuannya serta mutawatir hingga sumber ilmu, yaitu Rasulullah SAW.
Kedua, berdasar pada kualitas pemahanan keagamaan yang diperoleh dari pembimbing yang kredible khas nusantara ini berdampak pada cara memahami memahami relasi agama dan sosial budaya yang terus mengalami perkembangan. Dalam hal merespon problematika agama dan perkembangan sosial budaya, nalar santri cenderung bersifat asimilatif dan adaftif selama membawa peningkatan kebaikan dan kemaslahatan.
Ketiga, memahami urusan politik dan bernegara lebih berhaluan politik kebangsaan, mementingkan kemaslahatan, memilih jalan damai, merebut dengan santun hingga tetap optimis bahwa NKRI adalah anugerah terbaik Sang Kholik kepada bangsa Indonesia untuk terus dipertahankan, dipelihara agar tidak tercerai berai oleh kepentingan politik golongan tertentu.
Buku dengan judul “Merawat Nalar ala Santri” yang ditulis oleh Syaiful Bahar ini merupakan kumpulan tulisan yang dimuat di media, paska restorasi dari ujian penyakit yang diderita. Penulis (Baca:Syaiful Bahar) berjibaku melawan penyakit fisik dan ingatannya dengan mencoba mengaktifkan budaya menulis yang telah bersenyawa dalam perjalanan hidup dan karirnya sejak di bangku MTs di Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Dalam rangkaian tulisan yang dibukukan, penulis melakukan refleksi kritis terhadap fenomena sosial, budaya dan politik yang ditopang oleh perkembangan teknologi informasi dewasa ini.
Dimulai dengan bagaimana perkembangan teknologi informasi yang melahirkan ruang sosial tanpa tapal batas teritori, lintas profesi, tak dibatasi jarak dan wilayah antar bangsa. Ruang media sosia yang diisi oleh ragam generasi, mulai para ahli hingga tukang kuli, antara yang alim hingga awam, bahkan lintas agama dengan pemahaman liberalis hingga literalis. Semua bebas memproduksi dan mengekspresikan pendapatnya di media sosial secara liberal dengan segala konsekuensi yang diatur oleh regulasi.
Menjamurnya informasi maupun pemberitaan melalui medsos yang cenderung parsial dan tidak proporsional menjadi suguhan di depan gadget konsumennya. Membingkai fakta dengan membelokkan sebagian maupun hampir keseluruhan, serta menonjolkan pesan-pesan tertentu guna mendiskreditkan tokoh ataupun kelompok tertentu jamak dijumpai. Bahkan berita hoaks dan ragam ujaran kebencian yang menyasar ulama bahkan tokoh yang telah terbukti dan teruji kredibilitas dan integritas keilmuan dan kesetiaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi bagian ragam konsumsi informasi.
Konsekwensinya, turbulensi komunikasi dan informasi yang memicu gesekan pemahaman bahkan benturan kepentingan antar kelompok tak dapat dihindari. Bahkan pada kondisi terburuknya, adalah hilangnya sikap moderasi sebagai ciri khas mainstream anak negeri. Menguatnya sikap intoleransi sebagai permulaan buruk yang menggerus spirit kebhinnekaan dalam bingkai keadilan.
Penulis memulai dari bagaimana nalar berpikir dalam memahami relasi pemahaman agama dan sosial budaya dalam hal berpakaian, atribut keagamaan, merajut pengertian kerukunan, akhlak dalam bersosial media, menakar radikalisme dan sikap kritis ala santri dalam merespon kasus hadirnya Gus Miftah dalam acara yang digelar di Gereja Bethel Indonesia kala itu.
Penulis merespon persoalan politik nasional pada rentang waktu antara pra pilpres, yang terus mengalami eskalasi hingga paska terpilihnya presdian Jokowi di periode kedua. Munculnya propaganda hitam, berita hoaks hingga ujaran kebencian mewarnai eskalasi politik hingga nyaris terbelah ke dalam dua kubu ekstrem yang saling bersikukuh dengan pemahaman, pandangan politiknya.
Dampaknya setiap merespon beberapa peristiwa sosial budaya dan politik yang kemudian tersebar dan viral di media sosial melahirkan oposisi biner antara volunteers dan haters dan tak jarang sama-sama di dominasi semangat emosi primordial tanpa dasar nalar sehat dengan spirit ruh kegamaan mendalam. Konsekwesnsinya perbedaan dua kubu ekstrem tersebut hanya melahirkan seteru di ruang maya bahkan dilanjut permusuhan di dunia nyata.
Penulis memberikan pandangan alternatif yang berupaya menggali lebih dalam, bukan pada latar belakang penyajian dan bagaimana Informasi itu diproduksi. Melainkan mencoba lebih menukik pada pertanyaan dan riset awal mengapa informasi itu disampaikan dan dikorelasikan dengan bebebapa fakta penyerta. Meski tidak semua analisis dilanjutkan dengan riset komprehensif yang mengarah pada konstruksi nalar ala santri yang solutif, namun poin pentingnya adalah, percikan refleksi penulis telah memberi pemantik bagi para santri agar merestorasi cara berpikirnya tanpa kehilangan ruh nilai keagamaan yang telah suritauladankan oleh para ulama, ustaz serta pembimbing agama di pondok pesantren di bumi pertiwi.
*) Wakil Ketua Lakpesdam NU Bondowoso.