Kisah Asmara Bak Menggambar Lingkaran

Media Jatim

Judul: Balada Cito Citi 2
Penerbit: Diva Press
ISBN: 978-602-391-989-5
Tebal: 144 hlmn; 12 x 19 cm
Pengarang: Edi AH Iyubenu
Cetakan pertama: Juli 2020

Kadang kisah asmara itu bak proses menggambar lingkaran. Yang belum dapat diketahui kapan dapat terselesaikan dengan baik. Kadang saat menggambar lingkaran tidak semudah yang dibayangkan dan hasilnya tidak seindah yang direncanakan. Yang digunakan menggambar juga bisa mendapatkan rintangan ketika digunakan untuk menggambar. Maka diperlukan keselarasan antara hati, pikiran, dan tangan sebagai perantara menggambar lingkaran yang telah diinginkan dan direncanakan ketika menggambar.

Pun dengan kisah asmara yang dialami Cito dan kekasihnya, Citi. Kehadiran pihak-pihak ke tiga sebagai penengah, pemberi petuah, dan sekaligus tim sukses cukup dibutuhkan dalam kisah asmara yang mereka jalin. Terlebih di zaman yang cukup membuat semrawut pikiran seperti sekarang ini. “…ya karena zaman kayak gini ini faktanya orang pacaran itu memang sudah cenderung kayak kudu menjadikan kelonan sebagai rukunnya. Nah! Ini maqashidus syariat-nya, Dik. Selama hubungan cinta dengan lawan jenis bisa diantisipasi agar tak tersesat noda-noda ikhtilat melampaui batas begitu, kuyakin itu bisa menjadi bagian dari maslahat saja. Persis kandungan mashlahat dalam ajaran ta’aruf. Melihat lawan jenis, mencari tahu banyak dan detail tentang integritasnya dari sumber-sumber terpercaya, hingga ujungnya lahirlah kemantapan hati untuk menikahi itu. Memang saya akan terdenganr ekstem ya buat kawan-kawan yang anti pacaran tanpa fafifu seolah saya membenarkan ikhtilat sebagaimana umumnya pacaran hari ini didefinisikan. Tapi maksudku bukan itu. maksudku hanyalah ‘mengenali lawan jenis hingga mencapai kemantapan’. Ini esensinya. Soal bentuk dan jalannya bagimana, mau ala ta’aruf yang begitu rupa ataupun agak berbeda, ya kondisional saja. Yang penting maqashid syariat tadi dipastikan terjaga…” (hlmn 44). Begitulah petuah dari Pak Edi kepada Citi.

Baca Juga:  Menyelami Kisah Samudera Kasih Auliya

Sama halnya dengan proses menggambar lingkaran, terkadang ada sisi gambar yang bagus namun juga ada yang kurang bagus. Tugas penggambar adalah berusaha dengan semaksimal mungkin diiringi dengan tawakal. “Tawakkallah selalu pada Allah S.W.T Cit. Itu jalan ninja terbaik buat kita yang hanya manusia. Tawakkal sejak awal, sejak adanya gemeretak tresna di hatimu. Lalu terus jalankan tawakkal itu dalam proses ikhtiarmu, hingga kelak terhampar hasilnya serupa apa pun.” (hlmn 61).

Maklum masih muda, rasa penasaran tinggi di hati Cito atas petuah Pak Edi tersebut, membuat dia terdorong untuk mengajukan pertanyaan “Pak, bukannya tawakkal di akhir, njeh, jika hasilnya tak sesuai harapan?” (hlmn 61). Jawaban atas pertanyaan Cito tersebut dijawab dengan gambling dan logis oleh Pak Edi. “Itu tawakal pelarian namanya. Mentang-mentang tak berhasil sesuai harapannya, baru tawakal. Aslinya pelarian! Beda betul sama orang yang tawakkal sejak hadirnya niat di akalnya, ia menghadapkannya kepada Yang Maha Kuasa. Maka, mau berhasil atau gagal, ia akan biasa saja, sebab selalu memandangnya sesuai KeputusanNya yang terbaik buat kita.” (hlmn 61).

Dalam proses menggambar lingkaran pun, alat penggambar terkadang juga mengalami gangguan. Bisa jadi tiba-tiba pencil terjatuh dan patah, segelas air yang tiba-tiba tergeser siku dan membasahi kertas, maupun gangguan yang lain.

Kisah asmara mereka pun demikian. Semakin tinggi menjulan tinggi sebuah pohon semakin kencang angin yang menerpa. Banyak berbagai orang yang datang tiba-tiba guna menguji hati mereka. Seberapa kuat hati mereka menereima cobaan di tentukan oleh pribadi masing-masing. Dan sebagai makhluk sosial, mereka juga memerlukan bantuan orang sekitar untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Baca Juga:  Meneguhkan Nalar Moderasi ala Santri

Hadirnya pihak pemberi petuah, pendamai, pelerai, maupun pemberi solusi seperti Pak Edi, Mbahnyutz, Mprop Picoez, dan teman-teman Cito sebagai penggembira mampu menghidupakan novel karya Edi AH Iyubenu. Tampak alami dan menyuguhkan cerita yang mirip realita kehidupan.

Meskipun terdapat salah ketik dan beberapa kosa kata Jawa yang mungkin menimbulkan pertanyaan bagi beberapa orang tetapi tidak mengurangi esensi dari nilai yang hendak disampaikan penulis ke pembaca. Novel yang mengangkat kearifan lokal memang patut di acungi jempol. Sebagai sarana pelestarian budaya dengan tetap mempertimbangkan kemajuan zaman.

Blitar, 17 September 2020

*) Akrab di panggil Rosy. Bernama lengkap Rosy Nursita Anggraini. Lahir di Blitar 24 Januari 1995. Beralamat di Dusun Cimpling RT 01/01 Desa Siraman Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar. Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Prodi Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang. Santri aktif Pondok Pesantren Al- Falah Siraman Kesamben Blitar. Anggota aktif FLP Blitar dan Komunitas Muara Baca Blitar. Karya pernah di muat di: Riau Realita, Koran Pantura, Koran Madura, Media Jatim, Harian Bhirawa, Radar Mojokerto, Radar Cirebon, Dinamika News, dan Koran Jakarta. Penulis beberapa buku antologi bersama seperti: Antologi Puisi Indahnya Lukisan Langit (2016), Kaulah Pahlawanku (2017), Mengakrabi Sunyi (2017), dan Berbisik pada Dunia (2020). Dapat di hubungi melalui e-mail rosynursitaanggraini@yahoo.co.id, fb Rosy Nursita A, IG rosy_nursita, serta nomor HP/WA 08233472419.