Judul: Bung Karno, Nawaksara, dan G30S
Pengarang: Ir.Soekarno
Penyunting: Arifin
Cetakan: Kedua, 2019
Penerbit: Media Pressindo
ISBN: 978-623-7254-41-6
Tebal: xx + 140 hlm; 11 x 18 cm
Banyak versi yang mencoba menuturkan tentang peristiwa berdarah yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira dalam sumur tua yang kemudian disebut Lubang Buaya. Peristiwa berdarah yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam tragedy yang terkenal dengan Gerakan 30 September (G30S) tersebut masih menjadi misteri hingga saat ini.
Bahkan sempat beredar kabar tak sedap yang mengaitkan antara peristiwa tersebut dengan keterlibatan bapak bangsa kita, Bung Karno yang pada waktu itu Bung Karno dijuluki sebagai bapak revolusi. Pernyataan Bung Karno yang sering dikutip untuk mengaitkan antara Bung Karno dan kelompok Untung adalah “…dalam revolusi, kematian enam jenderal hanya sebagai ‘een rimpeltje in de ocean (sebuah riak kecil dalam samudera).” (hlm 28)
Namun, benarkah Bung Karno terlibat dalam peristiwa G30S? Lalu, untuk apa beliau melibatkan diri dalam peristiwa tersebut? Bila benar untuk melanggengkan kekuasaan, mengapa pemerintahan Bung Karno dicabut oleh MPRS?
Bila memang ini merupakan gerakan yang bertujuan untuk politik dan politik sendiri dikenal dengan zona abu-abu, maka perlu berpikir panjang guna mencerna maksud adanya G30S yang dilakukan oleh PKI agar membuahkan hasil secara terperinci terkait siapa dalang sebenarnya, apa tujuan dari G30S, serta apa yang didapat si dalang setelah terjadinya G30S, maupun pertanyaan detail lainnya yang bisa membuka pikiran kita agar bisa menyibak tabir gelap rentetan peristiwa bersejarah negeri ini.
Ketika pembaca menjatuhkan pilihannya untuk mengetahui hal tersebut melalui buku Bung Karno, Nawaksara, dan G30S pembaca akan diajak untuk berfikir secara kronologis disertai dengan bukti tertulis baik itu merupakan tulisan dari rekaman suara Bung Karno maupun dokumen-dokumen negara yang berkaitan dengan G30S.
Kejadiannya sendiri pada 30 September itu memang bukan hanya persoalan Angkatan Darat saja sehingga beberapa jenderal terbunuh, terutama persoalan politik. Maka harus ditinjau dari sudut politik, dari revolusi. Harus juga dipelajari secara tenang. Epilog yang tegen mijn wens in, tegen mijn wens in, bakar-membakar dan bunuh-membunuh jelas menunjukkan adanya pernunggangan. (hlm 21)
Bila memang benar kejadian tersebut adalah persoalan politik, maka perlu diingat bahwa politik merupakan cara mendapatkan kekuasaan. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan pasti banyak langkah di ditempuh serta banyak orang pula turut terlibat didalamnya karena ini sudah menyangkut negara. Jadi, pastilah menggunakan cara yang cerdas dan langkah yang tepat. Istilah jawa mengatakan dikena iwake aja nganti buthek banyune (didapat ikannya, jangan sampai keruh airnya).
Setelah G30S berlangsung, banjir permintaan pertanggungjawaban terkait peristiwa tersebut menghujani Bung Karno. Dengan gagah berani Bung Karno mejawab permintaan tersebut dalam pidato beliau yang kini dikenal dengan Nawaksara yang akhirnya di tolak oleh MPRS. Namun, beliau tidak berhenti sampai disitu. Bung Karno yang sebagai orator hebat itu berpidato lagi dengan judul Pelengkap Nawaksara.
Dari pidato tersebut bisa diambil beberapa poin penting seperti: 1) Kejadian G30S merupakan kejadian “complete over-rompeling” bagi Bung Karno, 2) Bung Karno mengutuk Gerakan Satu Oktober (Gestok), 3) Sebab kejadian teresebut antara lain karena pimpinan PKI kebelinger, kelihaian subversi Neokolim, dan adanya oknum-oknum yang “tidak benar,” 4) Kemerosotan akhlak. Dalam pidato tersebut Bung Karno meminta tentang “Kebenaran dan Keadilan.” Mengapa hanya beliau saja yang dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa ini? Lantas, siapa yang mau bertanggungjawab atas tragedi-tragedi penggranatan yang mengancam nyawa beliau? (hlm 66)
Dalam buku Bung Karno, Nawaksara, dan G30S telah memuat bagaimana Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap Tanggal 21 Januari 1967 tentang Pelengkapan Pidato Nawaksara. Hingga berujung pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Perlu dipertimbangkan pula pidato Bung Karno yang diucapkan beberapa waktu sebelum diselenggarakan KAA di Aljazair pada Juni 1965 “…Saudara-saudara, sebagaimana pernah kukataka beberapa hari yang lalu di hadapan para Panglima, mereka punya rencana itu… sedapat mungkin sebelum Aljazair, Sukarno, Yani, Soebandrio cs dibunuh! Kalau tidak bisa, sesudah Aljazair ini akan diadakan limited attack.” Namun, KAA di Aljazair batal karena terjadi kudeta terhadap pemerintahan Aljazair. (hlm 1)
*) Akrab di panggil Rosy. Bernama lengkap Rosy Nursita Anggraini. Lahir di Blitar 24 Januari 1995. Beralamat di Dusun Cimpling RT 01/01 Desa Siraman Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar. Alumni Fakultas Ilmu Administrasi Prodi Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang. Santri aktif Pondok Pesantren Al- Falah Siraman Kesamben Blitar. Anggota aktif FLP Blitar dan Komunitas Muara Baca Blitar. Karya pernah di muat di: Riau Realita, Koran Pantura, Koran Madura, Media Jatim, Harian Bhirawa, Radar Mojokerto, Radar Cirebon, Dinamika News, dan Koran Jakarta. Penulis beberapa buku antologi bersama seperti: Antologi Puisi Indahnya Lukisan Langit (2016), Kaulah Pahlawanku (2017), Mengakrabi Sunyi (2017), dan Berbisik pada Dunia (2020). Dapat di hubungi melalui e-mail rosynursitaanggraini@yahoo.co.id, fb Rosy Nursita A, IG rosy_nursita, serta nomor HP/WA 082334724195.